Selasa, 29 November 2011

Internet membuat hidup XLangkah lebih maju! Gak ada internet seperti katak dalam tempurung..

Ini pengalaman nyata yang saya alami sebagai mahasiswa. Internet disini, saya asosiasikan dengan BlackBerry dan kemudahan di dalamnya. Saya konsisten untuk tidak menggunakan BB sebelum saya lulus dan bekerja. Keukeuh saya berpegang teguh untuk tidak tergoda untuk membeli karena biaya bulanan untuk menghidupi BB udah berat, belum pulsa internet yang juga menyedot rutin tiap bulan. Tetapi ternyata, ada kejadian yang membuat saya tergoda sekali untuk membeli BB agar internet yang menghubungkan saya ke jejaring sosial bisa lancar tanpa hambatan (perlu nyalain laptop, nunggu laptop loading, masukin modem, harus duduk dan cari tempat pewe, dll).

1. Kejadian pertama adalah ada info workshop yang disebarluaskan melalui BBM, praktis teman-teman yang ber-BB sudah tahu dan mempersiapkan semuanya, sedangkan saya tahu 1 jam sebelum batas pendaftaran ditutup!

2. Kejadian kedua, berita tentang keadaan dosen yang berasal dari daerah yang sama dengan saya. kebetulan beliau sakit parah hingga kemudian meninggal. Saya tahu dari teman saya yang punya BB dan kemudian memberitahukan berita tersebut.

3. Kejadian ketiga adalah workshop juga, kali ini saya tahu setelah 1 hari pendaftaran ditutup!

4. Kejadian keempat workshop yang hampir sejenis, saya tahu dari teman saya yang ber-BB juga dan saya sempat mengajukan aplikasi sekalipun akhirnya tidak terpilh untuk mengikuti workshop.

5. Kejadian kelima, tugas yang saya buat dengan bagus sebanyak 7 halaman, ternyata dosen hanya meminta 3 halaman! Dan info ini tersebar malalui Tweeter yang sanya jarang buka dan anak-anak yang ber-BB yang selalu OL-lah yang tahu. Dan saya harus kalang kabut ke kosan lagi untuk ngedit dan ngeprint ulang!

6. Kejadian keenam, berita meninggalnya Dekan saya dan perihal rumah dukanya, tersebar melalui internet yang dengan mudah diakses oleh anak-anak yang ber-BB dari pada disebarluaskan memalui sms!

7. Kejadian ketujuh, saya harus ketinggalan latihan badminton mingguan karena info tersebar melalui tweeter dan gak lewat sms seperti dulu. Mereka malas ngirim sms yang menyedot banyak pulsa!

8. INFO SOAL UJIAN!!! dan diskusi-diskusi seputar materi yang akan keluar. Benar-benar membuat iri :(

9. Beasiswa, kesempatan magang, tersebar di tweeter yang saya jarang membukanya!

Yah, internet yang sekarang tersempitkan artinya ke BB memberikan kemudahan bagi para pemegangnya. Ada info magang, tinggal di lengkapi syarat-syaratnya dan apply lah. Ada info beasiswa, yang paling pertama tahu sehingga bisa cepat-cepat mempersiapkan diri. Dosen lama gak masuk kelas, tinggal BBM aja tuh dosen dan datanglah kabar kepastian apakah kelas ada atau dibatalkan. Detil tugas dan makalah, BBM aja dosen dan akan membalas dengan sangat cepat dari pada yang mengirimkan sms atau telfon langsung. Saya merasakan perbedaan yang sangat antara yang punya BB dan tidak, terutama masalah informasi yang faktual dan update!

Internet memang sekarang menjadi kebutuhan. Siapa yang punya sarana tercepat kesana, dia yang akan mendapat kemudahan selangkah lebih maju dari pada orang-orang yang tidak memiliki akses atau yang kesulitan mengakses. Saat ini BB menjadi alat utama itu, dan yang tidak punya BB seperti saya, harus bersabar dan memutar otak dua kali agar mendapat info yang sama dalam waktu yang agak sedikit lebih lambat tetapi masih punya peluang untuk mengejar. Yah, internet (BB) memang membuat penikmatnya XLangkah Lebih Maju!!!!! Sabar :D

Rabu, 23 November 2011

Nasib yang berbeda

Saya melihat banyak kejadian yang membuat saya menjadi sangat iba. Bahkan kadang ketika sampai di kamar kos, saya menangis sejadinya membayangkan bagaimana menjadi mereka. Yang pertama adalah penjual tisu di stasiun. Jika kalian melewati stasiun UI, kalian akan melihat banyak penjaja tisu, mulai dari yang tunanetra, yang berusia paruh baya, dan yang terakhir yang paling saya perhatikan adalah dia yang paling tua disana. Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di UI, tahun 2008, saya melihatnya masih bisa berdiri tegak dan menawari kami yang sedang manunggu di peron, barang dagangannya yang berupa tisu Paseo dengan harga jual 2000/pak. Hmm..memang agak mahal dari pada harga kebanyakan di toko, tetapi hitunglah ini sebagai apresiasi atas usaha mereka berjualan. Bagaimana jika para penjaja makanan dan barang-barang di stasiun beralih profesi menjadi penjahat, bukankah ini jauh meresahkan? Paling tidak dengan menjaga ritme pembelian, membuat kebutuhan hidup para pedagang tersebut terpenuhi.

Bapak tua tersebut, dulu masih bisa berjalan tegak dan mondar-mandir menjajakan dagangannya. Namun satu tahun terakhir ini, saya begitu kaget ketika ke stasiun dan mendapati bapak tua tersebut sudah mengenakan tongkat tua di kedua belah tangannya, untuk menjaganya tetap berdiri tegak. Barangkali usia sudah memakan kesehatan tulangnya sehingga terlalu berat menanggung beban tubuhnya. Kini dia berjalan dari peron yang ke arah jakarta, lalu bogor, dan begitu terus dengan membawa dua tongkatnya. Bapak tua ini begitu tabah dan konsisten menjaga kehormatan dirinya dengan terus bekerja. Bisa saja jika dia sudah menyerah, mungkin dia lebih baik meminta-minta seperti dua ibu-ibu yang selalu duduk mengantri di depan loket. Akan tetapi melihat kekukuhan dirinya, saya yakin dia tidak akan melakukannya. Harga kehormatan dirinya adalah dengan bekerja.

Lalu yang kedua adalah bapak penjual empek-empek yang rajin berjalan hingga ke daerah Gramedia. Saya kaget melihatnya disana, dan kemudian ketika sampai di kosan saya masih mendengar dia berteriak “empek-empek”, dengan khas suara cemprengnya. Jika melihat bapak itu yang berjalan tiap sore sampai menjelang jam 12 malam untuk menjajakan empek-empek, saya begitu terenyuh. Sayang saya sangat tidak suka empek-empek sehingga jika membelinya pun jarang saya makan. Saat pertama kali pindah ke kosan di Barel, saya sering mendengar suaranya di malam hari dan berteriak “empek-empek”, yang terdengar di telinga saya sebagai “tempe-tempe”. Penasaran dengan penjual tempe yang tetap berjualan sampai tengah malam, hingga 1 tahun kemudian saya tahu bahwa Bapak ini sebenarnya adalah penjual “empek-empek”. 1 bulan yang lalu, dia masih membawa dandang kecilnya untuk berjualan dan di tenteng sepanjang perjalanan yang ditempuhnya. Namun sekarang Bapak itu, yang ternyata tinggal di Lenteng Agung, berjualan empek-empek dengan membawa kotak plastik. Ketika saya bertanya, dia bilang dandang yang dipakainya sudah patah karena sudah bertahun-tahun. Saya pikir harga dandang lebih mahal dari pada plastik, dan keuntungan Bapak itu pasti tidak seberapa untuk bisa membeli dandang yang baru.

Ya Allah, saya melihat mereka begitu miris. Tidak tahu apa yang menyebabkannya, saya melihat mata tegar mereka, dan begitu terenyuh sehingga membuat saya terharu. Barangkali karena saya pernah berjualan kue di kampus, menjajakannya dari kelas ke kelas lain, dari teman satu ke teman yang lain, dari pagi sampai sore, sehingga saya sangat menghayati bagaimana perasaan mereka jika sampia malam tidak laku juga padahal kebutuhan hidup terus menuntut pemenuhan. Saya harus pula sabar dengan pandangan orang yang sinis. Saya harus sabar pula dengan predikat sebagai penjual donat, dan saya merasakan semua itu dengan perasaan layaknya pejuang kehidupan. Pejuang yang mempertahankan hidupnya.

Jika melihat kesenjangan ini, rasanya saya ingin marah. Marah yang semarah-marahnya kepada keadaan ini yang membuat manusia demikian terpisah jauh strata ekonominya. Marah dengan hak-hak mereka yang jarang terpenuhi. Marah karena mereka tidak bisa hidup dengan layak dan berpenghasilan cukup selama satu bulan. Negaraku yang menjamin kehidupan warga negaraya, semoga dalam tahun-tahun ke depan, pemerintah yang menjalankan fungsinya untuk menjalankan tujuan bersama bangsa ini, bisa konsisten menjaga hak-hak warga negaranya.

Senin, 10 Oktober 2011

Ketipu gara-gara N8



Kisah ini terjadi saat ramadhan, Agustus 2011. Kami adalah sekelompok pemuda yang aktif dalam kegiatan Pemberdayaan Masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Saat ramadhan merupakan waktu yang sangat berat bagi kami, berat karena program-program kami bertepatan dengan waktu ibadah yang menguras banyak energi sedangkan pahala yang kami dapatkan akan berlipat ganda jika berhasil melewatinya dengan gegap gempita. Bisa dibilang, berat tapi nikmat, tak ada yang absen di momen besar ini, bahkan mencandukan bagi yang suka kompetisi dan ambisi.

Kebiasaan pemuda seperti kami, yang hidup dikelilingi oleh kawan-kawan seperjuangan, tanpa standar hidup layak yang sehat [untuk layak masih jauh, yang penting gak terserang magh akut udah alhamdulillah], tanpa pembantu, tanpa pelayan, bisa dibilang kami adalah pembantu dan pelayan bagi kami sendiri dan masyarakat yang membutuhkan. Pekerjaan seabreg, koleksi baju minim karena gaji ibarat menstruasi, datangnya satu bulan sekali tetapi bertahannya cuma 8nan hari, sehingga masalah baju dan cucian pun menjadi momok untuk aktivis kayak kami ini. Hingga di suatu sore menjelang maghrib, ada ide dari seorang kawan, Ivander namanya.

“Kita beli mesin cuci aja yuk”, dia muncul ke ruang kerja dengan terengah-engah, yakin menaiki tangga sambil lari, ujung lengan baju dan celananya basah, cucuran airnya berguguran di lantai keramik yang selalu kami bersihkan tiap hari. wajah tirusnya yang polos [kutu buku habis] nampak meminta belas kasihan.

“Gak cukup uangnya, sabar dikit dah. Belajar jadi proleter, nyuci baju aja pakai ngeluh” demikian kata Johar, sang manager menolak lugas usulan Ivander, tanpa berpaling dari layar komputer HP-nya yang menayangkan downloadan OVJ dari Youtube.

“Iuran kita Bang, saya mau nombokin lebih dari pada menderita begini tiap minggu. Teman-teman pasti pada mau kok, kan dikit-dikit nanti jadi banyak duit yang bisa dikumpulin”, Ivander kukuh pada pendiriannya. Si polos yang jarang bicara ini tumben-tumbenan ngotot kayak gini.

Berawal dari usulan Ivander si wajah tirus karena kebanyakan gaul sama buku, berkumpul dan berembug lah para pemuda di kantor, pusat kegiatan mereka sehari-hari. Dari para penghuni kantor diminta kesukarelaan untuk membantu mewujudkan hadirnya anggota keluarga baru, mesin cuci. Usut punya usut, mereka tidak tahu berapa harga pasaran mesin cuci saat ini. Jadilah surfing di Internet dulu, tanya Mr Google terkait info mesin cuci harga paling murah. Belum cukup memberikan gambaran, taboid Lotte Mart punya tetangga pun di bajak sebentar untuk membandingkan harga. Untuk memastikan lagi, Fuad pun mentelepon kakaknya yang baru beli mesin cuci baru, tapi anjir harganya diatas 4 jeti. Yah, akhirnya referensi di Goolgle yang kita pakai, harga berkisar 1,7 juta-an. Ivander, Johar, Fuad, Wati, Izah, Saipul, May, Gie, Imam, mereka-mereka ini sang penghuni abadi kantor. Iuran yang terkumpul uang 1,8 juta-an. Kalau kurang, seperti yang dijanjikan Ivander, dia bakal nalangin. Karena itu dia udah siap-siap uang di dompet, 200 ribu rupiah. Sudah disepakati di awal, harga mesin cuci baru tidak boleh lebih dari 2 juta rupiah.

Di malam yang dingin, habis buka yang melegakan karena perut yang keroncongan telah dikucur makanan melimpah ruah, Ivander dan Johar berangkat ke ITC Depok -karena Carrefour terdekat ada disana- untuk membeli mesin cuci. Karena Ivander udah gak sabar, takut ITC tutup kalau kemalaman dan gak sempat memilih-milih yang bagus, Johar buru-buru mengambil kunci motor dan melesatlah mereka melewati jalanan Akses UI, masuk Depok lewat Margonda, meluncur menuju ITC Depok.

Di dalam Carrefour, pilihan sudah dijatuhkan dan tinggal bayar di kasir. Terjadilah insiden itu, gugup di kasir karena uang yang dicari gak ketemu. Johar baru ingat uang iuran yang seharusnya di bawa masih tersimpan rapat di laci meja kerjanya, karena buru-buru dia lupa ngambil.

“OK nder, lu tungguin di depan Carrefour ya, biar gue ambil uangnya dulu. Ngebut cukup kok, paling cuma 40 menit udah nyampe sini. Lu jangan kemana-mana ya, di sini aja deket kasir”, Johar memberikan pemecahan masalah karena lupa bawa uang. Dia mewanti-wanti Ivander betul-betul karena ini orang jarang banget sendirian di dunia nyata, agak gak tega pas ninggalin dia sendirian di Carrefour. Tapi Johar optimis Ivander akan baik-baik aja, toh cuma di suruh nungguin aja.

“Iya Jo, take care ya. Gue berani kok, cuma di ITC Depok aja ini, hehe”, jawabnya cengar cengir.

Apa boleh dibuat, nasi pun sudah menjadi bubur. Ivander bosan lama-lama berdiri sendirian di depan kasir, dia merasa seperti manikein aja. Bahkan manikein pun lebih menarik dari tubuh jangkung kurusnya yang menjulang tinggi. Dia memutuskan untuk jakan-jalan di pertokoan sekeliling Carrefour. Saat asik-asik nya cuci mata, dia dihampiri oleh Bapak-bapak yang mengaku bernama Roni.

“Dek, dek, saya bisa minta tolong?” demikian Bapa Roni menyapa Ivander, dengan wajah gugup dan terengah-engah

“Iya pak minta tolong apa?” Ivander ingin tahu dan tergerak hatinya untuk menolong

“Begini, saya lagi punya utang ke teman, dia minta cash. Tapi saya Cuma punya Handphone Nokia N8 ini, kamu mau beli dek?” Bapak itu berujar sambil memeprlihatkan Handphone nya ke Ivander. Wajahnya benar-benar memelas membutuhkan pertolongan. Ivander masih berpikir-pikir, jika ingin beli pun uang nya gak akan cukup. Tapi hasratnya untuk punya smartphone membuatnya menimbang-nimbang ulang, apalagi handphone Nokia 7610 yang dia beli sejak SMA sudah sering rewel akhir-akhir ini. Dan Pak Roni melihat kegelisahan di wajah Ivander langsung mengambil kesempatan mendaptkan pelanggan yang bisa menolong kesulitannya.

“Ini ponsel smartphone lho dek, saya waktu beli di atas 5 juta, tapi karena saya sedang sangat butuh uang jadi saya jual murah meriah ke adek”, Pak Roni menjelaskan dengan serius.

“Maaf pak, bukannya saya gak mau, tapi dompetnya yang gak mau pak, maaf banget”, Ivander memutuskan untuk tidak tergiur karena uangnya juga terbatas. Dia kasihan melihta si Bapak yang menaruh harapan besar padanya.

“Begini dek, karena saya sedang butuh uang banget, bagaimana jika adek bayar pakai uang seadanya di dompet?” Bapak itu menawarkan, sungguh-sungguh.

“Hah? Beneran nih pak?” Ivander sumringah luar biasa karena harapannya punya smartphone udah di depan mata, mimpi apa dia semalam ya. Dia sudah bisa membayangkan bisa facebook-an, twittter-an, internetan, de-el-el, sepuasnya.

“Iya, beneran. Tapi kan kalau saya kasih handphone-nya ke adek saya jadi gak ada handphone untuk komunikasi, klo uang yang ada di dompet adek plus hape 7610 yang sedang adek pegang di tukar sama hape N8 punya saya ini bagaimana?”, Pak Roni menawar agak malu-malu, dia gak enak juga mungkin.

“Segitu aja Pak? Uang yang ada di dompet saya Cuma 200 ribu lho pak, jadi sama handphone saya mungkin di total 600 ribuan. Bapak gak keberatan, kan klo dijual di counter handphone bisa 1 juta lebih”, Ivander merasa kasihan dengan Pak Roni, udah jatuh tertimpa tangga pula. Padahal tangganya nimpa dia balik, hehe.

Gak apa-apalah dek, kalo dikasihkan adek kan ada nilai nolongnya, jadi saya jual dapat pahala karena membantu yang membutuhkan. Silahkan dicoba dulu dek handphone nya, bisa nyala kan? itu lagi low bat aja makanya cuma muncul tulusan Nokia nya. Adek ambil SIM card punya adek saja, ntar diutak atik pas udah nyampe rumah aja biar aman, demikian Pak Roni memberikan saran.

“Iya pak, makasih banyak ya”, kata Ivander sambil menyerahkan uang di dompetnya plus Handphone 7610 yang sudah gak ada card nya lagi ke Pak Roni. Mereka lalu berjabat tangan tanda kesepakatan telah diambil, dan Pak Roni pun pamit. Ivander tresenyum puas dan sambil menuggu Johar dia jalan-jalan sebentar ke sekeliling took di sepanjang Carrefour, setelah sebelumnya meninggalkan pesan ke kasir Carrefour jika Johar datang.

Johar terburu-terburu masuk ke ITC Depok, langsung menuju escalator ke lantai 2, Carrefour. Dia khawatir berat dan was-was karena meniggalkan Ivander sendirian, tadi agak lama karena ada razia polisi di Margonda, jadi jalanan macet dan perlu waktu mengantre sampai polisi memeriksa kelengkapan mengemudinya. Sesampainya kasir dia tidak mendapati Ivander disana, tetapi Mba yang jaga kasir member tahu Johar arah Ivender yang berniat untuk cuci mata. Johar menelusuri lorong pertokoan di sepanjang Carrefour dan menemukan Ivander sedang melihat-lihat jaket kulit tebal. Dia mengajak Ivender ke kasir, sesegera mungkin karena udah mau mendekati jam 9 malam. Ivander menampakkan wajah gembira ketika Johar muncul, dia buru-buru menceritakan pengalaman nya barusan yang habis ketiban rezeki dapat gadget baru.

“Jadi lu kasihkan uang dan dompet lu?” Johar kaget ketika mendengar cerita Ivander.

“Iya Jo, kan jarang-jarang ada kesempatan seperti ini”, Ivander berdalih karena nada bicara Johar menyerangnya.

“Ya udah ke kasir dulu yuk bayar mesin cuci nya”, Johar berusaha mengendalikan emosi. Dia yakin ada yang tidak beres dengan kejadian tadi, mudah-mudahan aja itu handphone beneran, batin Johar. Dia agak bersyukur karena Ivander Cuma bawa uang 200 ribu, coba jika dia bawa uang lebih banyak lagi, kerugian jika ternyata benar Bapak tadi nipu pasti lebih banyak.

Sesampainya di kantor, Ivander menceritakan kejadian menarik itu ke teman-temannya. Semuanya terbengong-bengong dan penasaran ke hal yang sama. Mana HP handphone smartphone itu? Emang bener masih ada orang sebaik itu di Jakarta ini? Sekalipun kejadiannya di ITC Depok, tapi gak jauh-jauh amat kan orang-orang di Depok juga orang Jakarta juga.

“Mana tunjukin hapenya nder”, pinta orang-orang di dalam kantor yang lagi ngumpul merasakan kesenangan. Kesenangan pertama karena ada penghuni baru di kantor, si mesin cuci yang akan menjadi pahlawan pencucian baju-baju kotor. Dan yang kedua, cerita Ivander tentang smartphone barunya.

“Ini nih”, dia nunjukin ke Fuad

“Kok gak bisa nder, Cuma muncul NOKIA nya”, Fuad berusaha ngotak-ngatik si smartphone, tapi pas distart yang muncul hanya tulisan NOKIA.

“Kata Bapaknya harus di charge dulu karena HP nya low bat”, Ivender memberi alasan, bangga. Sambil membawa charge ke ruang ngumpul, dan mulai mencharge si smartphone. Fuad menunggu sabar sampai ada tanda handphone sedang di charge versi nokia, tapi kok gak muncul-muncul juga ya, batin nya. Setelah menunggu 5 menitan, Fuad mencoba men start lagi, tapi gak bisa-bisa nyala juga. Dari sini Fuad merasa ada yang aneh, Johar yang melihat gerak-gerik Fuad juga merasa ada yang salah. Teman-teman yang berkumpul dan menunggu handphone baru itu bisa beroperasi juga merasa ada yang aneh, dan si empunya juga deg-degan luar biasa melihat ketidakberesan yang terjadi di handphone barunya. Fuad masih mengotak-ngatik, sampai kemudian dia bersuara.

“Nder, sori ya. Kayaknya lu ditipu sama si Bapak tadi, ini handphone mainan yang gak ada mesinnya. Makanya gak bisa ketika di charge”, akhirnya dengan berat hati Fuad memuntahkan kesimpulannya pada handphone itu.

“Masa? Coba gue cek dulu”, si Ivander mencoba menstart HP nya, tapi karena gak bisa-bisa, ada tekanan malu juga di hadapan teman-temannya, dia mulai emosi. Dia membongkar handphone itu dan mendapati bahwa handphone itu benar-benar kosong dalamnya, ada mesinnya tapi mesin buat handphone mainan, bukan handphone beneran. Ivander langsung lemes, mukanya pucat. Bercampur baur antara perasaan kesal marah dan malu. Semua teman-temannya langsung respek dengan kejadian mengejutkan yang terjadi barusan.

“Udah lah nder, buat pelajaran kamu, nanti jangan mudah percaya sama orang ya”, kata Fuad.

“Mulai belajar bergaul sama manusia ya, jangan buku dan meja aja, jadi lu bisa reflek mengenali gejala-gejala kejahatan kayak gini. Gue juga minta maaf karena udah ninggalin lu sendirian” Johar ikut memotivasi.

Semua yang hadir malam itu akhirnya sibuk menenangkan Ivander yang shok. Dia gak habis pikir di bulan Ramadhan yang suci ini masih ada aja orang yang berniat buruk yang mengambil keuntungan dari menipu orang lain. Bener-bener pelajaran yang berharga bagi Ivander. Begitulah kisah unik ini, sebenarnya lucu ketika mendengarnya. Terbukti teman-teman saya di kampus tertawa gak berhenti-berhenti ketika saya ceritain kisah Ivander. Ada-ada pertanyaan mereka, gimana ekspresi wajah melasnya, gimana dia menahan malu di hadapan kita-kita, gimana dia yang udah gak punya handphone, kenapa dia gak ngecek dulu sebelum bayar, de el el. Tapi buat pelajaran kita juga, dimanapun harus waspada dengan orang asing. Bukannya gak mau bersosialisasi, tetapi hati-hati sebelum bertindak dan berkorban terlalu jauh kepada orang lain.

Selasa, 26 April 2011

Inspiring moment

@ Loby (inspired by penjual es potong)

Tulisan ini, sebuah refleksi perasaan yang terwujud atas detik-detik peristiwa yang telah aku alami

Sedih, sedih yang teramat sangat

Melihat manusia-manusia yang tidak jelas nasibnya

Bekerja, tetapi hasil keringat mereka tidak cukup untuk menanggung beban kepala yang harus ia hidupi

Bagaikan pasak yang lebih besar dari pada tiang

Berdagang, tetapi menjajakan sesuatu yag tidak sesuai dengan permintaan

Sehingga yang ada, mereka malah mengharap belas kasih orang lain untuk meringankan peluhnya.

Tatapan mengharap

Perut yang keroncongan menahan lapar

Tengkuk yang letih, menegakkan kepala untuk menatap lurus ke ujung jalan, akhirnya lunglai

Menunduk kaku menatap tanah

Menggerak-gerakkan kaki ke kanan dan ke kiri, mencari-cari celah atas setiap pasir yang tersingkap

Di tengah-tengah keasikan itu, mereka menatap sekumpulan anak-anak muda yang membawa sekantong makanan dari Afamart: Biskuit, Ice Cream, Wafer....makanan-makanan yang penjualannya sudah dimonpoli oleh perusahaan-perusahaan ritel itu.

“Donat ini lebih enak, lebih murah, lebih sehat” kata penjual donat

“Empek-empek ini juga lebih murah daripada makanan berpengawet yang kalian beli” kata penjual empek-empek

“Es potong ini harganya sepertiga dari Magnum yang kalian jilat, tidakkah mau mencoba?” tanya penjual es potong

Mereka menatap harap, sekalipun hanya suara hati yang barangkali wujud permintaannya kepada Tuhan.

Negeriku yang kaya raya

Namun terkungkung dalam setengah diameter bola, gelap, ibarat katak dalam tempurung kelapa

Masing-masing sudah tidak peduli dengan yang lain

Mengerjar mimpi

Mengejar Cita

Lalu, mimpi itu untuk siapa?

Cita itu untuk siapa?

Sungguh aku juga tidak berdaya sendirian menjawabnya

Hanya hatiku terasa diiris tajam saat melihat mata-mata nanar itu

Mata-mata yangdi dalam harapnya mengharapkan bantuanku

Aku menatap mereka dengan sejuta iba

Yang jika diukur akan sepanjang meteran penghubung kutub utara dan selatan, bolak balik pula

Aku ingin memberi, ingin membeli

Koran yang harganya 3000 rupiah

Es potong yang harganya 3000 rupiah

Donat yang harganya 2000 rupiah

Gorengan yang harganya bahkan 500 rupiah

Setiap hari bertemu mereka

Anak-anak, ibu-ibu, orang yang lebih tidak beruntung daripadaku, orang yang lebih membutuhkan dari pada aku,,

Mengisi setiap kaleng , gelas Aqua, kemasan permen, yang mereka sodorkan padaku dalam keadaan kosong

Aku menangis saat melewati mereka,

Membiarkan barang-barang jualan yang mereka jajakan,,,

Melewatkan kaleng-kaleng itu tetap kosong

Padahal aku ingin sekali memberinya, membelinya

Ingatanku merangsek ke dalam dompetku

Berapa uang ribuan yang nasih tertinggal disana

Berapa uang yang aku dapatkan dalam setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan sebulan ke depan

Yang jumlahnya terbatas ternyata

Rasioku mengataan aku harus membatasi, jika tidak maka bersiaplah untuk menjadi papa sampai bulan depan

Dan aku, sudah melewati mereka dengan sejuta rasa bersalah dan dosa

Tuhan, jika aku bisa berbuat lebih

Dan aku ingin berbuat lebih

Atas keterbatasanku sekarang yang lebih besar dari mimpiku

Aku mau membagi diriku untuk mereka

Dan jika saja

Tirai perlindungan untuk mereka berjalan

Dari setiap 2,5% itu dipupuk dan diperam sebagaimana Rumah Harta

Dengan tanggung jawab moral yang tinggi,

Tanpa adanya tikus-tikus pengerat tak bermoral itu

Niscaya nasib mereka tidak akan seburuk itu

Semoga akan membaik

Semoga akan berhasil

Sampai tiba masanya aku menyingsingkan lengan bajuku..

Untuk mereka

Eny Rofiatul N

Depok, 20 Maret 2011