Selasa, 15 Desember 2009

Gie, yang dulu kukagumi

Gie, Hari ini 40 Tahun Lalu
detikcom
detikcom - Rabu, 16 Desember

16 Desember 1969, sosok itu meregang nyawa. Gas beracun dari puncak gunung tertinggi di pulau Jawa mengakhiri hidupnya, sekaligus mengabulkan kebahagiannya untuk mati muda.

"Seorang filsuf Yunani pernah menulis... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda," itulah kata-kata yang ditulis pemuda itu di buku hariannya.

Pemuda itu, Soe Hok Gie, aktivis angkatan 66, salah satu tokoh pergerakan mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Lewat aksi-aksinya, Gie ikut berperan menumbangkan Orde Lama, namun Gie tidak lantas mau mendukung pemerintahan Orde Baru.

Tulisan-tulisan Gie kritis menentang kebijakan Orde Baru. Gie bahkan sempat menyindir teman-temannya, sesama angkatan 66 yang duduk di DPR GR. Dia menghadiahi bedak dan pupur agar para aktivis itu bisa berdandan sehingga kelihatan lebih 'cantik' di depan penguasa.

Gie lebih betah menulis daripada duduk manis sebagai anggota dewan. Idealismenya memang sulit dikalahkan. Penyuka lagu Donna Donna ini lebih memilih naik gunung daripada berpolitik praktis.

Gie mencintai gunung dan alam bebas. Puisi-puisinya banyak berkisah tentang kecintaannya terhadap pendakian gunung. Di puncak gunung juga akhirnya salah satu pendiri Mapala UI ini menghadap penciptanya. Di tengah kabut tebal puncak Gunung Semeru, Gie tewas tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-27.

Kisah hidup Soe Hok Gie diangkat ke layar lebar oleh sutradara Riri Riza. Aktor Nicholas Saputra menjadi pemeran Gie. Film ini mendapat Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 2005.

Buku 'Catatan Seorang Demonstran' yang diangkat dari buku harian Gie, masih mengilhami para mahasiswa dan aktivis untuk memperjuangkan cita-cita mereka. Para pendaki gunung juga masih mengingat pandangan Gie soal nasionalisme.

"Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung," ujar Gie kala itu.

Hingga hari ini, kata-kata itu masih tetap diingat. Hari ini, tepat 40 tahun lalu Soe Hok Gie meninggal.

_________________________________________________
Aku ingat dulu begitu mengidolakan tokoh ini. Sosok yang selalu mencari rahasia-rahasia alam, sosok yang menjadi raja jalanan, sosok yang idealis, dan sosok yang begitu mencintai negeri ini dengan seluruh jiwa raganya ia korbankan untuknya.

Buku catatan seorang demonstran yang kujadikan seolah-olah kitab suci, kubaca, kukaguami, kuhafalkan beberapa kata-katanya, dengan penuh kekaguman dan perasaan saying kenapa Gie meninggal lebih cepat dari yang seharusnya.

Itu kualami sejak aku kelas 1 SMA hingga semester 1 kuliah. Aku dikubang pada euphoria cinta tanah air dan pemujaan terhadap tokoh-tokoh yang sebenarnya mereka melakukan banyak kesalahan dan tidak pantas untuk dikagumi.

Kini, 16 Desember 2009 sejak 40 tahun yang lalu Gie menghembuskan nafas terakhirnya (6 Desember 1969). Koran online mengingatkanku akan dia.
Gie, pahlawan yang tidak tahu apa yang akan dia perjuangkan dan untuk apa dia berjuang…dan aku tidak mau menjadi orang seperti itu, orang yang dulu begitu kupuja…




Eny Rofi'atul N

Senin, 30 November 2009

DESEMBER PENENTUAN

1 desember 2009

Akhirnya sudah memasuki lagi masa-masa awal bulan dengan penuh semangat dan evaluasi sana sini dan tambal sulam. TAdi pagi dengan kebodohan yang kesekian kalinya, bangun jam 8.15, lalu mandi 5 menit, pakai baju 5 menit, naik ojek 5 menit, jadilah sampai kelas jam 8.30. TROLL. BAD.

Menyusun ulang jadwal bulanan ini memang susah...but bukan berarti gak mungkin

Senin, 16 November 2009

Motivasi itu Penting

Mengapa motivasi itu penting?
Karena motivasi memberikan dorongan pada manusia yang sedang melakuakn sesuatu untuk berjuang semaksimal mungkin untuk menggapai orientasi yang sudah dia tentukan.

Orientasi? malah sangat penting lagi, sebab inilah goal dimana kita akan meraih target maksimal.

Menuliskan ORIENTASI dan MOTIVASI, membuat saya tertegur untuk mengevaluasi apa-apa yang telah saya alami dan perjuangkan selama ini. Saya teringat kejadian tanggal 2-3 Juli 2009 yang membuat saya merasa bersalah, membuat saya membiarkan orang lain memiliki orientasi dan motivasi yang SALAH.

Atas kejadian yang saya ketahui kemarin dan yang kami jadikan topik untuk maksimal, saya terlecut oleh kejadian itu, saya belajar banyak dari itu, dan bahkan sekarang saya tidak peduli dengan penilaian orang lain disana karena saya tidak mau memalingkan orientasi dan motivasi yang sudah BENAR.

"belajarlah di setiap keadaan di sekitarmu yang membutuhkan penyelesaian, jangan pernah belajar karena ORANG LAIN"





Eny Rofi'atul N

Minggu, 01 November 2009

UTS terakhir yang begitu menentukan

Ini adalah sebuah bukti keberanianku menuliskan target yang akan kutempuh di semester 3.
IP yang kutargetkan adalah 3.6
Nilaiku tidak boleh ada yang B+, minimal adalah A-

Aku tahu ini merupakan sebuah planning ya melompat secara gila, ya semacam rebound dari kehancuran berkalang tanah 2 semester yang lalu.

Pembuktianku ada pada blog ini, akan kutuliskan setiap detik perkembangan diriku di blog ini sekarang, untuk bahan evaluasiku, untuk memantau sejauh mana perkembangan moral dan akhlakku sekarang.

Sahabatku mendapat IP 3.4 lebih, sedangkan kau masih stagnan dengan posisi kepala 2.
Sahabatku begitu memukauku dengan kemampuannya, dan aku tidak mau ketinggalan dengan dia.


ternyata banyak sekali kekurangan yang telah menggerogotiku, ternyata banyak hal yang harus kuperbaiki sekarang. Dan tentunya, kebiasaan ngantuk di kelas masih menjadi pergolakan yang cukup serius di internal diriku.

Aku tidak akan menyerah, cita-cita pmt harus terwujud, aku todak akan goyah dengan nasib yang aku alami sekarang karena aku percaya segalanya bisa dimulai dengan ketekunan dan kesungguhan.

HAri ini aku melihat bahwa orang yang selama ini memberikan aku bantuan adlah orang yang demikian tersohor di Indonesia. AKu iri dengan kesuksesan yang dia peroleh, dan aku akan menyusulnya 3 tahun lagi.

Tuhan...3 tahun adalah waktu yang sangat singkat. Berikan aku keteguhan dan kekuatan untuk tetap bertahan, untuk tetap menjadikan cita-cita pmt terwujud, dan kepindahan ke Jakarta nanti adalah sebuah kenyataan yang akan pasti datang sesuai dengan periode perkembangan yang ditargetkan.

Rabu, 08 Juli 2009

Ini adalah isi surat yang dikirimkan oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, Ketua Pertama Perkumpulan Boedi Oetomo, sebuah organisasi yang hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Oentoek Anakmas Goeskar,
Sesama kerabat dari Kaboepaten Karanganjar saja ingin mentjeritakan mengenai kesalahan sementara kalangan jang menetapkan lahirnja perkoempoelan Boedi Oetomo (BO) sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
BO didirikan di Djakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA jaitoe Soetomo dan kawan-kawan. Perkoempoelan ini dipimpin oleh para ambtenaar, jakni para pegawai negeri jang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Saja jang pertama kali menjadi ketoea BO. Saja sendiri adalah Boepati Karanganjar kepertjajaan Belanda, memimpin BO hingga tahoen 1911. Saja kemoedian diganti oleh Pangeran Arjo Notodirodjo dari Keraton Pakoe Alam VIII Jogjakarta jang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patoeh pada indoek semangnja. BO sebenarnja tidak memiliki andil sedikit poen oentoek perdjoeangan kemerdekan atas bangsa Indonesia, ataoe sekedar toeroet serta mengantarkan bangsa ini ke pintoe gerbang kemerdekaan, karena BO sendiri telah boebar pada tahoen 1935.
BO adalah perkoempoelan lokal dan etnis, hanja orang Djawa dan Madoera elit jang boleh menjadi anggotanja. Orang Betawi ataoe Soenda sadja tidak boleh menjadi anggotanja.
Di dalam rapat-rapat perkoempoelan dan bahkan di dalam penjoesoenan anggaran dasar organisasi, BO menggoenakan bahasa Belanda, boekan bahasa Indonesia ataoe Melajoe. Kami tidak pernah sekali poen dalam rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara jang merdeka. BO hanja membahas bagaimana memperbaiki taraf hidoep orang-orang Djawa dan Madoera di bawah pemerintahan Ratoe Belanda dan memperbaiki nasib golongannja sendiri. Bahkan di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertoelis “Toejoean organisasi oentoek menggalang kerjasama goena memajoekan tanah dan bangsa Djawa dan Madoera setjara harmonis.” Inilah toejoean BO, bersifat Djawa-Madoera sentris, sama sekali boekan kebangsaan.
Karena sifatnja jang toendoek pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satoe poen anggota BO jang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjoeangan BO jang sama sekali tidak berasas kebangsaan, hanja sebatas memperjoeangkan Jawa dan Madoera saja. Hal inilah jang mengetjewakan doea tokoh besar BO sendiri, jakni Dr. Soetomo dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, sehingga kedoeanja hengkang dari BO.
Saja ingin berteroes terang di sini, kalaoe saja Raden Adipati Tirtokoesoemo Boepati Karanganjar, ketoea pertama BO adalah seorang anggota Freemasonrj. Saja aktif di Lodge Mataram sejak tahoen 1895.
Jadi, masih pantaskah kelahiran BO dijadikan tonggak awal moela kebangkitan nasional jang sakral itoe?

Salam taklim,
Raden Adipati Tirtokoesoemo

Sumber : http://sukarnosuryatmojo.wordpress.com/2009/05/20/menggugat-kebangkitan-nasional/

Ada banyak pendapat yang menyikapi masalah ini. Ada yang mereka berpihak pada SI sebagai pelopor kebangkitan nasional yang pertama, ada yang tetap kekeh bahwa kebangkitan nasional Indonesia bagaimanapun keadaannya adalah berkat jasa dari BO. Menurut saya pribadi, patutkah siapa yang lebih dulu memulai ini dijadikan ajang untuk saling menjatuhkan pihak lain? Bukankah substansi dari kedua pergerakan tadi juga sama-sama menegakkan kembali kejayaan pribumi di tanah pertiwi ini? Toh tidak bisa memberikan jaminan jika seandainya SI yang ditetapkan sebagai pelopor kebangkitan nasional itu benar-benar mampu membuat Indonesia jaya karena masyarakatnya tidak pernah mau untuk mengambil semangat perjuangan yang mereka miliki. Apakah yang mereka inginkan? Apakah yang mendasari mereka berbuat begitu? Itulah yang patut kita teladani sebagai wujud mencintai tanah air ini, bukan malah mengkambing hitamkan salah satu pihak sebagai antitesis dari keberadaan pihak lain. Semoga kita bisa semakin bijak ketika mengambil sebuah sejarah untuk dijadikan pijakan membangun bangsa ini.

Eny Rofi’atul N

ada-ada saja....

27 Juni 2009
Tadi ada cerita lucu saat saya berangkat ke Stasiun. Seperti biasa bikun menjadi alat transport yang saya andalkan untuk menjangkaunya. Kebetulan saya naik bikun nomor 10 yang dikemudikan oleh Pak Eddy. Bikun berhenti di halte UI, lalu melanjutkan perjalanannya untuk ke Stasiun UI tercinta. Nah saat menuju stasiun UI itulah kejadian ini terjadi.
Sedang asyik-asyik ngobrol sama teman-teman, tiba-tiba bikun berhenti menyilang di jalan. What’s up?
“Kok berhenti pak?” spontan pertanyaan saya lontarkan, kaget.
“Itu, sopir angkotnya main nyusup jalan” Pak Eddy menjawab sambil menunjuk arah depan.
Saya memalingkan wajah ke depan, dan melihat si Sopir angkot yang dengan wajah tanpa berdosa tetap kukuh berhenti di tengah jalan. Dia kan gak bisa lewat kalau Bikun yang guedenya seperti potongan jembatan itu menyilang di tengah jalan. Hahahhaha….
Keadaan perang dingin itu berlangsung sampai hampir 5 menit, hahahaha..dan endingnya si sopir angkot mengalah lalu mundur ke jalan yang agak lebar di tepi jalan utama. Dengan gagah sigap Pak Edy menekan tombol power untuk membuka pintu Bikun, lalu bilang begini “ntar kalo kamu gak balik diusir sama Satpam di depan tau rasa!”
Lalu? Melajulah Bikun nomor 10 ini dengan gagah berani ke Stasiun UI tercinta…

Jumat, 26 Juni 2009

IBU LIA BERBICARA

Selama kuliah saya ingin hidup mandiri sehingga saya memanfaatkan waktu dengan berdagang, karena istilah berdagang dirasa terlalu berat, mungkin saya bisa ganti dengan berjualan. Pertama kali berjualan saya jualan donat. Bagaimana perasaan saya waktu pertama klai jualan? Tentu saja wajar sebagai mahasiswa saya agak sedikit merasa “gimana gitu”. Saat membawa box donat seolah-olah semua mata menatap ke arah saya dan memandang dengan pandangan sinis. Tetapi setelah saya pikir-pikir, itu hanya perasaan saya saat melakukan hal yang di luar kebiasaan orang dan betapa malunya saya jika hal itu saya jadikan alasan unutk menyerah. So? Jadilah hari-hari saya tidak lepas dari skenario “jualan donat” sehingga image donart selalu melekat di Eny saat di Fakultas Hukum. Pertama kali ada julukan “Gadon” sebagai akronim dari gadis donat, rasanya agak gimana gitu, tetapi yah saya lewatin aja dan lama-lama saya enjoi dengan apa yang orang ucapkan. Toh gak akan signifikan pengaruhnya dengan hidupku.
Nah, episode hidup saya berganti sekarang begitu memasuki musim liburan dan SP. Saya yang notabene tidak ikut SP merasa sepi juga hari-hari dilewatkan tanpa ada pemasukan, dan akhirnya saya putuskan untuk berjualan lagi. Donat saya rasa kurang prospektif di tengah suasana kampus yang suepi pol gini, maka saya berpindah dari jualan donat ke jualan dadar. Tetapi dengan pertimbangan SP juga saya tidak mungkin berjualan langsung ke teman-teman, sehingga atas rekomendasi teman yang lain di Fakultas Hukum (berinisial F)saya setiap hari memasok Dadar ke Kopma FHUI.
Ada cerita unik dari Dadar ini.
Saya mengambil dadar dari seorang Ibu yang bernama Ibu Lia. Beliau adalah pedagang makanan yang rutin mengitari Asrama Mahasiswa UI setiap pagi dan malam hari. Yang saya tahu, beliau membawa dua kantong plastik besar yang itu bueraaatt banget (saya pernah mencoba mengangkatnya). Makanya saya jadi ingat Ibu saya di Desa melihat perjuangan beliau bekerja keras (anaknya tengah skripsi di Ilmu Komunikasi UI) untuk menghasilkan uang yang semakin sulit didapatkan.
Tanggal 24 Juni 2009, tepatnya hari Kamis beliau mengambil box dan mengantarkan Dadar untuk saya jual ke Kopma. Karena kemarin(Rabu) saya lupa mengambil box di Kopma, jadinya Ibu Lia nungguin saya kembali dari Fh untuk mengambil box dan uang Dadar hari Rabu. Kejadian ini terjadi di Kantin Asrama.
“hari sabtu saya mau ke semarang En, jadi seminggu ke depan ibu libur bikin kue”
“wah, eny juga ikutan libur dong bu” aku menjawab dengan sedikit bercanda.
Ibu Lia tertawa kecil, menampakkan ekspresi kelelahan dan pandangan sayunya melewati perjalanan hidup panjang yang akan dia lalui.
“Ibu mau ke tempat anak ibu yang di Semarang, mungkin selama seminggu ibu akan disana”
Lalu Ibu Lia melanjutkan ceritanya, bahwa anak-anaknya ingin sekali membawa si Ibu ini untuk tinggal bareng, gak tega melihat ibu Lia sendirian bekerja keras di tengah kerasnya kehidupan Jakarta. Saudara-saudara beliau pun juga banyak yang menawarkan tempat tinggal agar beliau ada yang menjaga dan merawat, karena Ibu Lia juga sudah berusia agak lanjut. Nah, beliau selalu kekeh sama pendiriannya. Tipikal orang tua berdarah Jawa, memiliki tradisi bahwa “saya pantang seperti sapi nyusu gudel”, istilah Indonesianya “saya pantang seperti sapi yang menyusu kepada anak sapi”
“saya tidak mau numpang dengan orang lain En, sekalipun dia anak Ibu sendiri, saudara Ibu sendiri”
Begitu argument beliau menanggapi ajakan anak dan saudaranya.
“Kenapa tidak mau Bu? Kan enak jika bisa ngumpul sama keluarga dan cucu di rumah?”, saya mencoba mencari alasan yang lebih signifikan daripada sekedar tradisi. Saya yakin setiap orang punya independensi dalam memlilih jalan hidupnya terlepas dari aturan tradisi dan kebiasaannya.
“Ibu tidak ingin hati Ibu terjajah En, Ibu ingin merdeka, Ibu ingin melakukan perjuangan hidup ibu yang sudah senja tanpa kungkungan dari orang lain, apalagi dari anak-anak yang sudah ibu besarkan. Ya, ibu memang ingin hidup seperti ini, bebas dan merdeka”
Saya terkesiap dengan jawaban Ibu Lia, saya tidak tahu apa yang membuat saya merasa harus kagum padanya, tetapi jawaban itu seketika membuat saya “oh…begini ya seharusnya manusia hidup? Memiliki kemauan kuat untuk selalu bisa bertahan dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain?”. Pembicaraan kami berakhir sampai disini karena Ibu Lia harus segera kembali ke rumahnya. Tetapi saya mengambil banyak analogi kehidupan Ibu Lia, jika kumpulan Ibu Lia menjadi jiwa-jiwa yang hidup di seluruh bumi pertiwi ini, saya yakin bangsa ini akan menjadi bangsa yang punya independensi, punya kekuatan, punya prinsip, dan punya arah hidup yang pasti. Cerita ini eny tagg di facebook sebagai wawasan buat siapa saja yang membacanya, buat siapa saja yan menyadari bahwa perjuangan tidak akan pernah berhenti disini, bahwa masa depan yang sesungguhnya akan datang sebanding dengan seberapa keras kita membangunnya dari sekarang.
Episode kue Dadar yang membawa inspirasi buat Eny, dan ini sebagai ajang promosi juga akhirnya (mungkin)…tapi dadar bikinan Ibu Lia memang enak, gorengannya juga enak dan murah tentunya. Selamat mencicipi episode kehidupanyang akan kita lalui…semoga seenak dadar bikinan Ibu Lia…hohohohoooo…

(*_*) cerita ini dari pengalaman penulis pribadi…

Rabu, 24 Juni 2009

aku yang sedang bingung

Barangkali kita sebagai anak akan selalu terikat oleh keinginan dari orang tua terkait masa depan yang akan kita jalani nantinya. Kadang kita merasa diatur dan merasa bahwa kita tidak memiliki kebebasan unutk melakukan apa yang kita anggap benar. Bagaimanapun juga kita tidak bia memungkiri bahwa orang tua memiliki andil paling besar diantara orang-orang disekitar kita dengan semua kehidupan yang kita jalani sekarang. Jelek-jeleknya, merekalah yang menyebabkan kita terlahir ke dunia, sehingga apapun yang terjadi dengan hidup kita ini tidak akan pernah bisa kita dengan egois mengatakan "ini hasil kerja keras gw sendiri".

Lalu pada suatu ketika yang lain kita menemukan jalan yang dirasa orang tua tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan dengan jalan hidup kita...bagaimana kita menyikapinya? haruskah kita melawan perintah Tuhan bahwa ktia harus "berbakti pada orang tua, bahwa ridho Tuhan berada pada ridho orang tua", sedangkan di sisi yang lain Tuhan memerintahkan kita unutk mematuhi perintah mereka sebatas perintah itu bersesuaian dengan perintah Tuhan? masalah muncul disini, perintah orang tua yang bagaimanakah yang bersesuaian dengan perintah Tuhan?

Aku mengalami kebingungan antara tinggal disini dengan harus pulang di Depok. Aku sadar baik buruknya aku berada disini atau kembali ke Depok. Aku bisa menimbang bagaimana waktu yang akan tersia-siakan dengan aku pulang ataukah aku di Depok. Sementara orang tua berpikir bahwa di Depok menghabiskan banyak uang yang itu bisa kugunakan ketika aku nanti kuliah lagi. Aku bingung sekarang dengan semua msalah yang terus berdatangan...
my list projeck is making proirity problem that i must solve it first than others...



Eny Rofi'atul N

Senin, 22 Juni 2009

PERINTAH RAJA

Tanggal 15 Juni 2009

Jam 05.30 pagi

Aku duduk di kantin asrama menunggu peserta KMMI yang akan berangkat ke Fakultas Hukum. Berhubung hari masih sangat pagi aku hanya duduk sendirian sementara panitia yang lain belum datang atau mereka bisa saja langsung ke Fakultas Hukum. Di tengah hiruk pikuk peserta yang mengambil konsumsi, aku melihat teman-teman Sahabat Asrama sedang memasang kain yang berisi tausyiah di lampu-lampu yang menggantung di langit-langit asrama. Bukan hanya itu saja, di meja-meja makan juga tertempeli kertas yang berisi do’a sebelum makan dan icon Sahabat Asrama juga disana. Aku tersenyum melihat mereka yang begitu bersemangat, lalu ingatanku melayang pada orang yang pernah bercerita padaku beberapa minggu yang lalu..

En, kakak punya sebuah kisah yang mungkin kamu bisa mengambil pelajaran darinya..

Pada suatu ketika seorang raja memanggil 3 gubernurnya. Raja tersebut merasa khawatir dengan kondisi rakyatnya yang sedang terserang wabah demam berdarah. Atas rekomendasi dari penasehat raja yang ahli di bidang kesehatan, diketahui bahwa untuk meredakan wabah ini Negeri tersebut harus menggalakkan program 3M. Membersihkan lingkungan, Menguras bak mandi, dan Mengubur barang-barang bekas. Gerakan 3M inilah yang ingin Raja sosialisasikan kepada rakyat-rakyatnya, sehingga Raja memanggil 3 Gubernurnya untuk memberdayakan masyarakat agar melaksanakan gerakan 3M sehingga wabah penyakit demam berdarah bisa dibasmi.

“Gubernurku, laksanakan perintahku dengan sebaik-baiknya, aku tidak ingin rakyatku menderita dan sengsara. Ajaklah masyarakat kalian untuk melaksanakan gerakan 3M agar wabah penyakit demam berdarah yang menakutkan ini segera diselesaikan ”, Raja bertitah.

“Laksanakan”, Gubernur-gubernut itu menjawab dengan penuh takdzim.

Sebagi tindak lanjut atas perintah sang Raja, maka 3 Gubernur itu langsung membentuk pasukan khusuh pelaksana titah Raja.

Gubernur I segera membuat ukir-ukiran yang demikian indah di seluruh daerahnya. Ukir-ukiran itu demikian mencolok sehingga seluruh rakyatnya bisa melihat dan membacanya, bahkan saking seringnya melihat, rakyat sudah hafal di luar kepala bunyi dari 3M yang disosialisasikan oleh Raja melalui Gubernurnya. Ukir-ukiran itu dipasang di jalan-jalan kota, di kantor-kantor pemerintahan, dan di setiap rumah bahkan sudah dihiasi oleh ukir-ukiran yang berisi seruan 3M.

Gubernur II tidak ingin kalah dari Gubernur I, dia segera membuat poster, baliho, dan flyer. Seluruh daerahnya sudah terpasang dan demikian mudahnya 3M dilihat dimana-mana. Setiap hari model publikasi diganti sehingga sebenarnya memakan banyak biaya, tetapi bisa dipastikan setiap rakyatnya memiliki flyer khusus yang dicetak dengan kualitas prima.

Gubernur III segera membuat inovasi cara publikasi. Dia membuat 3M dinyanyikan dimana-mana. Berbagai macam versi 3M dinyanyikan di semua genre music, Rock, Pop, jazz, hip hop, semuanya lengkap. Bahkan tidk tanggung-tanggung sang Gubernur mengadakan kontes menyanyi tingkat I semacam AFI, Indonesian Idol, yang lagu wajibnya berisi hymne 3M. Jadilah seluruh kota menjadi paduan suara yang kompak dan sigap menyanyikan 3M secara serentak. Padusnya Pak Dibyo kalah deh…

Kemudian, ada inspeksi dari Raja untuk memantau sejauh mana perkembangan gerakan 3M disosialisasikan dan dilaksanakan, sehingga tidak ada lagi rakyatnya yang menderita wabah penyakit demam berdarah. Dan betapa terkejutnya sang Raja ketika kondisi rakyat yang demikian dicintainya semakin memburuk. Dia marah, dia geram, dan rasanya dia ingin sekali menghukum Gubernurnya yang tidak becus menjalankan perintahnya. Apa saja yang mereka lakukan selama ini?

“sudahkah kalian mensosialisasikan dan melaksanakan gerakan 3 M?” Raja bertanya pada masing-masing gubernurnya.

“Siap! Saya sudah membuat ukir-ukiran tentang 3M” jawab Gubernur I

“Siap! Saya sudah membuat poster, baliho, dan flyer tentang 3M” jawab Gubernur II

“Siap! Saya sudah membuat hymne 3M dan mengadakan kontes menyanyi tingkat daerah” jawab Gubernur III

Mendengar jawaban dari 3 Gubernurnya, raja marah dan sangat geram.

“Siapa yang menyuruh kalian untuk membuat ukir-ukiran? Siapa yang menyuruh kalian untuk membuat baliho? Siapa yang menyuruh kalian membuat hymne?”

“Aku Raja kalian, memerintahkan untuk mensosialisasikan dan melaksanakan 3M, agar rakyatku yang sedang menderita bisa hidup dengan damai dan sejahtera, bukan dengan cara seperti ini. Dengan jalan yang kalian pilih, wabah penyakit yang sedang kita hadapi bukannya semakin berkurang malah semakin merajalela dan akut. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan cara kalian”

*end*

Kemudian kakak yang bercerita padaku menyudahi ceritanya, dan mengatakan:

Seperti inilah En kondisi umat islam sekarang, barangkali kita lupa apa peritah Allah SWT terhadap umatNya. Perjuangan yang dilakukan umat Islam hanya sebatas simbol, sehingga wajar jika kita akan semakin mengalami kemunduran dan bahkan kehancuran. Kita mungkin akan maju di bidang ritual, simbol, dan ibadah. Tetapi kita akan hancur di peradaban dunia. Ini ironis, kita sudah dikaruniai oleh Allah SWT petunjuk hidup di dunia agar kita menjadi kaum yang selamat, kaum yang Allah ridho atas mereka, demikian juga sebaliknya. Tetapi kita malah sibuk berkutat pada petunjuk itu, kita sibuk memperdebatkan petunjuk itu, padahal petunjuk-petunjuk itu berisi perintah Allah untuk mempelajari dunia, alam, hukum-hukum Allah, dan segala ciptaanNya.

Barangkali kita telah salah En….

*cerita ini mengalami edit dan interprestasi dari kepala penulis*

PERCERAIAN DAN SAHABATKU

10.46 semuanya udah kelar en..udah gak ada masalah lagi di keluargaku sekarang, ortuku udah cerai. Mau diapa2in kayak apa semuanya udah terlanjur terjadi, udah selesai….

Kemarin sahabatku yang saat inikuliah di Jakarta memberiku kabar tentang keadaan keluarganya. Setahuku dulu, keluarga mereka baik2 saja, dan aku kaget mendengar perceraian kedua orang tuanya. Dan lebih membuatku merasa kecewa, aku mendengar kabar ini dari kakakku yang di Kediri. Dia memintkau untuk menghibur sahabatku yang sedang berkabung akibat retaknya rumah tangga orang tuanya. Pantas, saat makrab kemarin dia banya diam dan sesekali saja ngobrol, dan aku juga sibuk dengan tugasku sehingga ku pikir dia baik2 saja. Aku lupa bahwa sahabatku ini akan selalu menampakkan wajah sombong sok tegarnya setiap kali menghadapi masalah, aku lupa bahwa dia akan selalu diam jika aku tidak memancingnya bicara, aku lupa bahwa aku juga mengalami hal yang sama dengan yang dia alami, dan mungkin aku lupa betapa tidak enak memiliki orang tua yang sudah berpisah.

Beberapa memoriku terbuka…ingat saat dia adalah salah satu orang yang menemaniku saat keluargaku dilanda masalah, ingat saat dia menyuruh dan mengantarku pulang karena keluargaku membutuhkanku sementara aku menjadi seorang pengecut yang bersembunyi, ingat saat malam2 aku tertidur di kereta dan turun di stasiun yang salah, dia menjemputku, ingat saat kami semua mendengarkan lagu lembayung bali di kelas, ingat beberapa bulan yang lalu aku masih melihatnya masih tersenyum, kita ke Bogor bersama2 untuk mengunjungi teman2 kami disana…….

Menatap lembayung di langit Bali

dan kusadari

betapa berharga kenanganmu

Di kala jiwaku tak terbatas

bebas berandai memulang waktu

Hingga masih bisa kuraih dirimu

sosok yang mengisi kehampaan kalbuku

Bilakah diriku berucap maaf

masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu

Teman yang terhanyut arus waktu

mekar mendewasa

masih kusimpan suara tawa kita

kembalilah sahabat lawasku

semarakkan keheningan lubuk

Hingga masih bisa kurangkul kalian

sosok yang mengaliri cawan hidupku

Bilakah kita menangis bersama

tegar melawan tempaan semangatmu itu

oh jingga

Hingga masih bisa kujangkau cahaya

senyum yang menyalakan hasrat diriku

Bilakah kuhentikan pasir waktu

tak terbangun dari khayal keajaiban ini

oh mimpi

Andai ada satu cara

tuk kembali menatap agung surya-Mu

lembayung Bali

Maaf ya teman, aku sempat melupakan, aku sempat merasa sombong…

Sahabat…

Kilauan permata takkan cukup membeli bahagiamu

Bukan juga tarian untuk menyambut kedatanganmu

Bukan jamuan untuk memuaskan dahagamu

dari perjalanan jauh dan melelahkan

sahabat…

pantas untukmu seluruh bahagiaku

pantas untukmu dayang2 dan istana2ku

pantas untukmu air mataku yang tersisa

untukmu seluruh keheninganku dari pertapaanku

sebagai belas dan rasa hormatku

aku, hadirmu dalam hidupku…

CANTENGEN

Tahu apa itu cantengen kan? Itu lho, sakit di jempol kaki akibat daging tertusuk kuku dan itu rasanya sakit banget. Cantengen juga dipengaruhi oleh model jempol kaki seseorang, kalau pertumbuhan kukunya menyamping, akan mudah sekali terserang penyakit yang namanya cantengen, dan kalau kukunya berbaik hati mau tumbuh ke atas, maka bersyukurlah orang–orang yang tidak akan memiliki masalah dengan cantengen.

Aku akan menceritakan masalah dengan jempol jariku. Aku masih ingat dari dulu banget dari saat aku masih kecil aku memiliki maslah dengan kuku. Yang mulai kuku lepas karena hobi lari2an dan gak hati2 terantuk batu, dan masalah yang sampai saat ini selalu menggangguku, cantengen. Hiks, menderita sekali jika sampai terinjak kaki orang , sakit luar biasa rasanya, dan gangguan ini kualami semenjak SD. Waktu SD sakit seperti ini bukanlah masalah yang berarti, SMP pun masih bisa dicuek2in, SMA mulai agak merasa takut, dan sekarang saat duduk di bangku kuliah aku mulai mengimajinasi gambaran2 buruk akibat cantengen. Semenjak duduk di bangku kuliah aku mulai memperhatikan periodesasi kukuku mengalami cantengen. Sekali cantengen akan memerlukan waktu satu bulanan untuk sembuh, bahkan dulu waktu baru pindahan kesini sampai 2 bulan kukuku bisa normal kembali.

Tetapi, ini yang paling menyebalkan dan tidak fair. Kenapa? Sakit karena cantengen yang memakan waktu satu bulanan akan normal hanya dalam waktu tidak lebih dari 10 hari. Habis itu aku mulai merasa sakit dengan kukuku, dan setelah itu cantengen akan terus menggangguku selama satu bulan ke depan.

Aku kemarin cerita ke temanku yang di FKM tentang kekhawatiranku dengan kebiasaan jempol kakiku ini, aku takut jika seandainya terkena diabetes, dan saat itu sedang parah-parahnya cantengen, pasti daging jempol kakiku akan busuk, dan akhirnya mau tidak mau kakiki harus diamputasi kan? Waaaaaaaa…menyeramkan sekali jika sampai kakiku hilang gara2 cantengen. Bagaimana biar bisa sembuh ya? Thinking a hundred times…

Aku pernah baca novel kambing jantannya raditya dika, dan ia kudu dioperasi biar cantengennya hilang. Masa iya tidak ada jalan lain untuk sembuh? Kalau teman2 SD ku dulu pernah menyarankan ide gila yang cukup konyol. Apa itu? Memasukkan kutu rambut ke dalam sela-sela kuku jempol, biar sakitnya dimakan sama kutu itu. Hahahaha…ingat itu aku ketawa2 sendiri. Dan bodohnya ku turuti kata2 mereka. Masa iya sekarang ku gunakan cara konyol seperti itu? Ckckckckkck…

Jumat, 10 April 2009

HARI SABTU. h+2 dari PEMILU 2009

Hari Sabtu ini tetap dimulai dengan insiden air mati di asrama tercinta. Hari SAbtu ini juga, adalah hari dimana Pemilu 2009 sudah diselenggarakan 2 hari yang lalu. Hari Sabtu juga, diketahui bahwa suara Partai Demokrat sedang kejar2an dengan Golkar...

Hari Sabtu ini juga, kebiasaan tidur lagi sehabis Subuh udah kambuh untuk kesekian kalinya, hari Sabtu pula, Bapak-bapak BIkun beroperasi lagi mengemudikan Bikun terkeren sepanjang sejarah UI...

Dan besok hari Minggu, akan ada sebuah diskusi ilmiah yang akan menguji seberapa dangkal dirimu telah menganggap "dalam" wawasan dan pengetahuan yang kamu miliki tentang agama dan keyakinanmu?

Banyak deh pekerjaan deadline yang akhirnya deadlock karena terus ditumpuk dan dibiarkan begitu saja

Ada tugas HTN, 2 lho tugasnya. 1 nya disuruh bikin esai, satunya lagi disuruh bikin makalah
Hukis juga disuruh bikin makalah, tentang Zakat Perusahaan. Mana kelompoknya semua asing2 lagi.....
Ckckckckkck

Jumat, 13 Maret 2009

PUZZLE PERSAHABATAN

Depok, 08 Maret 2009

Seperti biasa di hari Minggu yang cerah dan membosankan. Aktifitas rutinku bisa ditebak setiap hari Minggu. Bangun agak terlambat karena tidur lagi usai sholat shubuh, lalu kalau tidak ada halangan atau mungkin sedang ingat aku, Bapak atau Ibu telfon menanyakan keadaanku. Mungkin obrolan akan berlangsung sekitar 30 atau 60 menit dan untuk selanjutnya aku masih bingung akan melakukan apa. Biasanya aku akan mengisinya dengan membersihkan kamarku habis-habisan, seperti mencuci seprei, menata buku-buku yang berantakan, menata baju, mencuci baju, tetapi entah kenapa untuk satu hal saja, menyeterika, aku sangat ogah melakukannya dengan senang hati. Entah karena alasan apa, menyeterika adalah hal yang sangat membosankan dan menguras tenaga.

Hari ini lain dari biasanya, setelah beberapa minggu ibu tidak menelfonku, ibu telfon juga akhirnya. Aku menghindari untuk terlalu sering berinteraksi dengan rumah, akan membuatku down bila ada sedikit masalah yang menyerangku disini.

“En, ganti ke nomor m3 ya” demikian ibu memintaku pada telfon keduanya, telfon yang pertama entah kenapa terputus. Tanpa menunggu jawaban “ya” ibu sudah mematikan telfon dan aku segera memenuhi permintaan ibu dengan sedikit terhuyung-huuyung. Maklum, aku baru saja membuka mata ketika ibu membangunkanku dari tidur malas di hari Minggu.

”Drrrtt..drtttt...drtttt” hape ku begetar, dan di layar tertulis ”luphy mom” dan kusegerakan untuk mengangkatnya.

”Mbak Eny...mbak Eny, udah bangun belum?” suara cempreng adikku yang berbicara

”Udah dek, adek udah bengun belum?” aku gantian bertanya pada adik kecilku yang kedua

”Sama, aku juga udah bangun mbak” dia selalu tidak mau kalah denganku, dasar sama-sama perempuan, mungkin ada perasaan ingin berkompetisi tidak sadar dalam kepala setiap manusia yang terlahir sebagai saudara.

”Bedanya, adek nangis dulu habis bangun tidur, ngompol, ngiler, iya kan?” aku menggodanya

”Nggak kok” katanya membela diri

”Besok hari selasa aku masuk mbak, tidak pakai seragam lho, Bu Guru menyuruh memakai baju muslim, ada muludan, bawa makanan juga” dia pamer padaku dengan senang dan riangnya. Ah, anak kecil memang begitu, karena aku dulu juga merasa begitu bahagia ketika hari-hari besar agama islam dan kami tidak perlu memakai seragam sekolah, yang paling menarik tentunya kami harus membawa makanan ke sekolah untuk dimakan bersama-sama. Wiiiihhhh....jadi teringat pada kenangan masa lalu.

”En, ini ibu” ibu mengambil alih telfon rupanya, adek terlalu banyak mengambil jatahnya untuk mengbrol denganku. Lalu cerita mengalir setelahnya. Ibu bercerita tentang Eny, temanku waktu SD yang ternyata adalah putri dari teman ibu dan ayahku.

”dia mendapat musibah” ibu mengawali topiknya. Ketika mendengar berita itu, sekilas hatiku miris. Yang aku tahu keluarga Pak Ponidi, ayah Eny selalu mendapatkan kejadian yang tidak mengenakkan terkait dengan keturunannya. Dari ke lima anaknya -kalau tidak salah anaknya ada lima- yang paling cerdas adalah Eny dan kakak perempuan pertamanya. Pak Ponidi hanya memiliki satu orang anak laki-laki, dan itu pun sudah meninggal saat aku masih kelas 2 SMA. Aku ingat sekali kejadian itu. Eny sempat belajar bersamaku di Kediri, dia hanya belajar di pesantren saat sore hari dan paginya dia membantu Bulekku. Saat itu Bulekku membutuhkan perewang untuk meringankan pekerjaan rumah tangga, sekalipun aku tinggal di rumah Bulek dan pekerjaan rutin di pagi hari sebelum berangkat sekolah telah kujalankan beliau masih merasa kurang. Dan aku memakluminya, pekerjaan rumah tangga memang sangat melelahkan, apalagi Bulek hafiz Al Qur’an, sudah tentu waktunya akan banyak terkuras dengan hafalan itu, belum dengan kedua anaknya yang masih kecil, belum kewajibannya sebagai isteri yang bejibun, dan untuk meminta tolong padaku pun pasti beliau sungkan juga kalau terlalu terus-menerus. Akhirnya Ibu memberi solusi pada Bulek, dia meminta Eny yang di rumahnya tidak melanjutkan sekolah dan cukup belajar di pesantren untuk ”membantu”, sekaligus menemaniku agar aku mau ”kembali belajar di pesantren”. Ibu sudah kepalang pusing tujuh keliling menyadari bahwa putri pertamanya mulai lepas kontrol dan tambah parah saja kadar bandelnya. Waktu itu aku sempat protes karena meminta untuk kos, sedang ibu tidak mengizinkan. Alhasil aku mogok sekolah selama hampir dua minggu, ogah berangkat ke Kediri dan hanya ngetem di rumah sambil nonton televisi. Momen itu bertepatan juga dengan Bulek yang membutuhkan perewang, dan jadilah Ibu memintaku berangkat ke Kediri menemani Eny, atau Eny yang harusnya menemaniku? Ah, tidak jauh beda sebenarnya, hanya akal-akalan orang tua untuk memenuhi harapan mereka terhadap anaknya. Jadilah dua orang ”Eny” di rumah Bulek, dan untuk menghindari kerancuan penggilan nama, Bulek memanggil Eny dengan sebutan ”Pur”, berasal dari nama belakang Eny, yaitu Eny Purwati.

Waktu aku masih SD, aku ingat pihak sekolah membuatkan akte untuk murid kelas enam. Ternyata ada kesalahan penulisan pada akte kelahiran Eny. Jadilah Pak Andi guru yang bertugas sebagi koordinator akte menginterogasi Eny di depan kelas.

”En, di akte ini nama kamu berubah, yang aslinya Eny Purwanti menjadi Eny Purwati. Dari Eni yang memakai ”i” menjadi Eny yang memakai ”y”. Nah, Bapak ingin bertanya, nama kamu ingin tetap Purwanti atau Purwati? Biar tidak terjadi perbedaan nama di ijazah dan akte, mulai sekarang disamakan” beliau menanyai Eny dengan lantang. Aku ingat teman-teman berkoor ketika mendengarkan pengumuman ini. Salah pak Andi juga mengumumkan hal seperti ini di depan kelas.

”Pakai ”Y” aja En, biar sama dengan ku” aku menawarkan solusi yang menggelikan kalau ku ingat-ingat sekarang di usiaku yang sudah menginjak 19 tahun. Maklum, anak kecil sangat suka dengan segala hal yang sama dengan teman-teman sebayanya.

”Trus pakai Purwati aja, lebih bagus kayaknya daripada Purwanti” aku menambahkan option nama yang menurutku bagus untuknya.

Sekilas dia terlihat bingung, tetapi saat itulah aku terus mempengaruhinya hingga dia setuju. Ketika mengingat secuil masa laluku aku merasa sediki berdosa, dan merasa sebenarnya hidup adalah puzzle yang tidak mungkin dipisahkan karena di dalamnya semua saling mempengaruhi. Kita berdua yang ketika masih ingusan begitu erat bersahabat. Ketika kami berpisah setelah Ujian Akhir dan aku memutuskan melanjutkan di tempat yang jauh, Kediri, terlepas dari teman-temanku di Blitar. Eny, kita berdua sama-sama memiliki nama Eny, dan bukan barangkali lagi, Sahabat,,,pantas untukmu seluruh hormatku, pantas untukmu dayang-dayang dan istana-istanaku, pantas untukmu air mataku yang tersisa, untukmu seluruh keheningan dari pertapaanku, sebagai belas dan rasa hormatku. Aku, hadirmu dalam hidupku (dari sahabatku yang meninggal, LALA)

Bersatunya kembali dua orang Eny ternyata tidak berlangsung lama, hanya satu bulan, waktu yang sangat singkat. Dia harus pulang kampung ketika mendengar bahwa neneknya sakit. Sebenarnya sejak Eny berangkat itu pun neneknya sudah sakit, tetapi ternyata sang Nenek sudah saatnya harus berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa, esok hari setelah Eny tiba di rumah. Eny memutuskan pulang hari Sabtu, dan Ahad pagi sang Nenek di bawa ke rumah sakit tetepi tidak terselamatkan. Sampai disini, pada takdir kita masih berpikir biasa-biasa saja lah, orang tua memang bisa kapan pun meninggal. Tetapi tangan-tangan Tuhan berkehendak lain, karena Allah SWT selalu menguji hambaNya yang paling kuat dengan ujian dan ujian lagi. Tahukah kita? Ternyata kehidupan sedemikian mudah di ciptakan dan dihempaskan oleh Dzat Yang Maha Kuasa. Saat orang-orang kebingungan membawa jenazah Nenek dari Rumah sakit kembali ke rumah, drama kehidupan yang menyayat memang harus diterima oleh keluarga yang sangat tangguh ini. Putra Pak Ponidi satu-satunya, yang paling kecil, meninggal dunia karena demam di rumah, saat orang tua dan kerabatnya sedang sibuk mengurus sang Nenek. Jadilah hari Ahad itu adalah hari yang sangat mendung untuk keluarga itu. Masih terekam dalam benakku Eny yang shok kehilangan 2 orang yang dicintainya dalam sehari. Dia tidak bisa diajak bicara hingga dua minggu ke depannya. Meringkuk di tempat tidur, dan air mata yang terus menetes di kedua matanya.

Hanya itukah? Tidak teman, ini adalah sebuah kisah yang nyata dan seolah seperti drama, tetapi kenyataan ini terjadi di sebuah desa kecil di Kebupaten Blitar. Kakak Eny yang kedua, keiga, dan adik perempuan Eny mengalami kelemahan berpikir, mereka sedikit terbelakang untuk masalah kecerdasan otak. Terbukti mereka selalu tinggal kelas untuk waktu yang lama. Kakak pertama dan Eny saja yang memiliki kecerdasan dan kemampuan yang selayaknya. Kakak pertama Eny memiliki suami, dan entah setan apa yang merasuki laki-laki itu, pada suatu malam dia melampiaskan nafsunya pada kakak Eny nomor dua hingga menjadi benih bagi makhluk ciptaan Allah yang suci. Saat itu, kakak Eny baru pulang mengaji melewati jalan setapak kecil yang sekelilingnya masih berupa lahan persawahan. Sudah tentu karena kejadian ini berlangsung di desa, berita yang berisi aib jauh lebih cepat menyebar dan sanksi sosial yang diberikan juga jauh lebih kejam daripada sekedar dihukum secara fisik. Hinaan, cacian, dikucilkan, barangkali menjadi santapan keluarga ini yang sudah biasa mereka rasakan.

Lalu sekarang.....

“Eny mendapt musibah En” ibu mengulangi ucapannya, sendu.

“Ada orang yang demikian bermaksud jahat menghancurkan hidupnya, orang itu merusak wajahnya dengan menyiram minyak goreng panas ke wajahnya. Sekarang wajahnya rusak, tidak berwujud seperti wajah lagi. Leher, telinga, dan bagian sekitar wajah benar-benar seperti daging matang, menghitam” ibu mengatakan padaku dengan terbata-bata.

“astaghfirullahal ‘adzim” aku berseru kaget

“serius bu?” setengah tidak percaya berusaha mempertajam pendengaranku. Rasa kantuk yang tadi menyergapku sekaligus hilang karena rasa kaget.

“iya en, masa ibu mau bohong? Ibu langsung telfon karena kawatir padamu juga, ibu mohon sekali jaga diri baik-baik disana ya nak, jangan mudah percaya pada orang dan hati-hati kalau bergaul dengan orang asing” beliau mewanti-wantiku, lalu pembicaraan panjang yang berisi nasehat pun berakhir. Masih menyisakan rasa shok dan perasaan mustahil. Teman yang dulu mengisi hari-hariku, bermain bersama, mengerjakan tugas kelompok, tawa bersama, secuil kenangan waktu SD terpatah-patah masuk dalam ingtanku. Dan ketika mendengar berita ini, sepotong hatiku seolah ikut hancur, sepotong jiwaku yang pernah ada bersamanya ikut terbang, dan sebatas kelemahan diriku, untaian do’a memohon kesabaran atas musibah silih berganti yang diterimanya.

Sebatas yang kutahu kemudian, ternyata ada seorang laki-laki dewasa yang menyukai Eny dan tidak berani menyampaikan kepada keluarga Eny untuk meminangnya. Sementara di lain pihak ada orang yang telah melamar Eny dan ingin membina hubungan yang serius antara dua keluarga. Motif cemburu, dan....pengecut yang membuat masa depan Eny hancur. Jika Doraemon itu ada, aku ingin pinjam pintu ajaib padanya, aku ingin menjengk sahabat lamaku yang dirundung duka lara, aku ingin sekedar datang untuk ketiadaan yang kuhadirkan padanya. Sahabat....kilauan permata takkan membeli bahagiamu, bukan juga tarian untuk menyambut kedatanganmu, bukan juga jamuan untuk memuaskan dahagamu dari perjalaan jauh dan melelehkan.... (dari sahabatku yang meninggal, LALA)

By : Eny Rofi'atul N.