Selasa, 25 Mei 2010

SEORANG PEREMPUAN DARI ALEXANDRIA

Sutradara : Alejandro Amenabar
Skenario : Alejandro Amenabar dan Mateo Gil
Pemain : Rachel Weisz, Max Minghella, Oscar Isaac


Hypatia dari Alexandria.

Di tahun 391 , ketika manusia masih menyangka bumi terletak di pusat semesta, dan ilmu astronomi dan filsafat masih pada tahap awal perkembangan pada peradaban Barat, adalah filsuf dan astronom Hypatia yang selalu bertanya tak berkesudahan. Mengapa mereka memiliki empat musim; di manakah letak matahari pada saat musim berganti dan seterusnya.

Hypatia (Rachel Weiz) diizinkan mengajar matematika, astronomi dan filsafat di perpustakaan ternama di Alexandria karena ayahnya, Theron (Michel Lonsdale) adalah kepala perpustakaan sepuh yang dihormati rakyat.

Sejak awal film, kita diberi gambaran tentang sebuah peradaban masyarakat yang begitu cerdas, begitu inspirasional dengan guru seperti Hypatia yang jelita, pandai dan bertubuh seperti biola yang terbuat dari pualam. Dua lelaki jelas merindukan dia, yang pertama adalah muridnya yang paling tampan, Oreste (Oscar Isaac) yang dengan berani menyatakan cintanya di muka publik pada sebuah pertunjukan teater; sedangkan satunya lagi justru harus menekan hasratnya, karena dia, Davus (Max Minghella, putera sutradara terkemuka Anthony Minghella) adalah seorang budak yang nasibnya ada di bawah telapak para bangsawan.

Tetapi Hypatia, seorang perempuan rasional, dingin dan berjarak dari hubungan cinta, ketika perang syaraf antara kaum sekuler dan umat beragama meningkat menjadi pernag fisik, Hypatia berusaha mempertahankan independensinya sebagai ikmuwna yang terus menerus memeprtanyakan gerak benda langit. Sementara para lelaki pengagumnya jelas menjadi pengikut umat Kristiani—yang toh tetap mencintainya dan ingin dia selamat dari segala upaya penghancuran—Hypatia bersikeras untuk tidak goyah dari dirinya: ia seorang ilmuwan yang selalu bertanya;dia tak akan percaya segala sesuatu begitu saja.

Film yang disutradarai Alejandro Amenabar (sutradara film The Sea Inside, pemenang Film Asing Terbaik Academy awards 2004) ini berupaya menampilkan petikan sejarah lengkap dengan drama dari serpihan dokumen yang ada. Sayang sekali Hypatia dalam sejarah tak terlalu banyak disebut, justru karena dia seorang perempuan. Sudut pandang inilah yang kemudian diangkat dan disemprot ke panggung. Rachel Weisz selalu menampilkan seni peran berkelas: seorang perempuan yang disanjung bukan hanya karena kecantikan belaka, tetapi kecerdasan dan obsesinya untuk mencari jawaban.

Bahkan di bawah tekananpun, Hypatia digamabarkan sebagai seorang ilmuwan yang sangat berdedikasi pada ilmu pengetahuan. Mungkin jika elemen tumbuhnya peradaban dan temuan –temuan dalam astronomi dan pendidikan itu justru diperluas—daripada adegan-adegan perang yang berkepanjangan dan klise—film ini malah akan lebih menarik.

Perdebatan ilmiah dalam film ini lebih bertumpu pada soal-soal astronomi; sementara perdebatan Hypatia dengan murid-muridnya soal agama kurang dikembangkan. Perdebatan tentang kaum agama dan kaum sekuler inilah sebetulnya yang akan membuka peluang bagi kita untuk merenung tentang sebuah masyarakat madani yang dicita-citakan banyak orang. Mencoba memahami perbedaan keimanan dan cara menyikapi keragaman itu, seperti yang dipertanyakan Hypatia, jauh lebih penting daripada nafsu angkat senjata dan saling menghabisi.

Film yang diinspirasikan dari sosok pada puluhan abad lalu ini sebetulnya menggambarkan persoalan yang masih sangat relevan saat ini.


Seumber dari, http://tempointeraktif.com/hg/jeda/2010/05/09/kol,20100509-21,id.html

Tidak ada komentar: