Rabu, 08 Juli 2009

Ini adalah isi surat yang dikirimkan oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, Ketua Pertama Perkumpulan Boedi Oetomo, sebuah organisasi yang hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Oentoek Anakmas Goeskar,
Sesama kerabat dari Kaboepaten Karanganjar saja ingin mentjeritakan mengenai kesalahan sementara kalangan jang menetapkan lahirnja perkoempoelan Boedi Oetomo (BO) sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
BO didirikan di Djakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA jaitoe Soetomo dan kawan-kawan. Perkoempoelan ini dipimpin oleh para ambtenaar, jakni para pegawai negeri jang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Saja jang pertama kali menjadi ketoea BO. Saja sendiri adalah Boepati Karanganjar kepertjajaan Belanda, memimpin BO hingga tahoen 1911. Saja kemoedian diganti oleh Pangeran Arjo Notodirodjo dari Keraton Pakoe Alam VIII Jogjakarta jang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patoeh pada indoek semangnja. BO sebenarnja tidak memiliki andil sedikit poen oentoek perdjoeangan kemerdekan atas bangsa Indonesia, ataoe sekedar toeroet serta mengantarkan bangsa ini ke pintoe gerbang kemerdekaan, karena BO sendiri telah boebar pada tahoen 1935.
BO adalah perkoempoelan lokal dan etnis, hanja orang Djawa dan Madoera elit jang boleh menjadi anggotanja. Orang Betawi ataoe Soenda sadja tidak boleh menjadi anggotanja.
Di dalam rapat-rapat perkoempoelan dan bahkan di dalam penjoesoenan anggaran dasar organisasi, BO menggoenakan bahasa Belanda, boekan bahasa Indonesia ataoe Melajoe. Kami tidak pernah sekali poen dalam rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara jang merdeka. BO hanja membahas bagaimana memperbaiki taraf hidoep orang-orang Djawa dan Madoera di bawah pemerintahan Ratoe Belanda dan memperbaiki nasib golongannja sendiri. Bahkan di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertoelis “Toejoean organisasi oentoek menggalang kerjasama goena memajoekan tanah dan bangsa Djawa dan Madoera setjara harmonis.” Inilah toejoean BO, bersifat Djawa-Madoera sentris, sama sekali boekan kebangsaan.
Karena sifatnja jang toendoek pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satoe poen anggota BO jang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjoeangan BO jang sama sekali tidak berasas kebangsaan, hanja sebatas memperjoeangkan Jawa dan Madoera saja. Hal inilah jang mengetjewakan doea tokoh besar BO sendiri, jakni Dr. Soetomo dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, sehingga kedoeanja hengkang dari BO.
Saja ingin berteroes terang di sini, kalaoe saja Raden Adipati Tirtokoesoemo Boepati Karanganjar, ketoea pertama BO adalah seorang anggota Freemasonrj. Saja aktif di Lodge Mataram sejak tahoen 1895.
Jadi, masih pantaskah kelahiran BO dijadikan tonggak awal moela kebangkitan nasional jang sakral itoe?

Salam taklim,
Raden Adipati Tirtokoesoemo

Sumber : http://sukarnosuryatmojo.wordpress.com/2009/05/20/menggugat-kebangkitan-nasional/

Ada banyak pendapat yang menyikapi masalah ini. Ada yang mereka berpihak pada SI sebagai pelopor kebangkitan nasional yang pertama, ada yang tetap kekeh bahwa kebangkitan nasional Indonesia bagaimanapun keadaannya adalah berkat jasa dari BO. Menurut saya pribadi, patutkah siapa yang lebih dulu memulai ini dijadikan ajang untuk saling menjatuhkan pihak lain? Bukankah substansi dari kedua pergerakan tadi juga sama-sama menegakkan kembali kejayaan pribumi di tanah pertiwi ini? Toh tidak bisa memberikan jaminan jika seandainya SI yang ditetapkan sebagai pelopor kebangkitan nasional itu benar-benar mampu membuat Indonesia jaya karena masyarakatnya tidak pernah mau untuk mengambil semangat perjuangan yang mereka miliki. Apakah yang mereka inginkan? Apakah yang mendasari mereka berbuat begitu? Itulah yang patut kita teladani sebagai wujud mencintai tanah air ini, bukan malah mengkambing hitamkan salah satu pihak sebagai antitesis dari keberadaan pihak lain. Semoga kita bisa semakin bijak ketika mengambil sebuah sejarah untuk dijadikan pijakan membangun bangsa ini.

Eny Rofi’atul N

ada-ada saja....

27 Juni 2009
Tadi ada cerita lucu saat saya berangkat ke Stasiun. Seperti biasa bikun menjadi alat transport yang saya andalkan untuk menjangkaunya. Kebetulan saya naik bikun nomor 10 yang dikemudikan oleh Pak Eddy. Bikun berhenti di halte UI, lalu melanjutkan perjalanannya untuk ke Stasiun UI tercinta. Nah saat menuju stasiun UI itulah kejadian ini terjadi.
Sedang asyik-asyik ngobrol sama teman-teman, tiba-tiba bikun berhenti menyilang di jalan. What’s up?
“Kok berhenti pak?” spontan pertanyaan saya lontarkan, kaget.
“Itu, sopir angkotnya main nyusup jalan” Pak Eddy menjawab sambil menunjuk arah depan.
Saya memalingkan wajah ke depan, dan melihat si Sopir angkot yang dengan wajah tanpa berdosa tetap kukuh berhenti di tengah jalan. Dia kan gak bisa lewat kalau Bikun yang guedenya seperti potongan jembatan itu menyilang di tengah jalan. Hahahhaha….
Keadaan perang dingin itu berlangsung sampai hampir 5 menit, hahahaha..dan endingnya si sopir angkot mengalah lalu mundur ke jalan yang agak lebar di tepi jalan utama. Dengan gagah sigap Pak Edy menekan tombol power untuk membuka pintu Bikun, lalu bilang begini “ntar kalo kamu gak balik diusir sama Satpam di depan tau rasa!”
Lalu? Melajulah Bikun nomor 10 ini dengan gagah berani ke Stasiun UI tercinta…