Selasa, 29 November 2011

Internet membuat hidup XLangkah lebih maju! Gak ada internet seperti katak dalam tempurung..

Ini pengalaman nyata yang saya alami sebagai mahasiswa. Internet disini, saya asosiasikan dengan BlackBerry dan kemudahan di dalamnya. Saya konsisten untuk tidak menggunakan BB sebelum saya lulus dan bekerja. Keukeuh saya berpegang teguh untuk tidak tergoda untuk membeli karena biaya bulanan untuk menghidupi BB udah berat, belum pulsa internet yang juga menyedot rutin tiap bulan. Tetapi ternyata, ada kejadian yang membuat saya tergoda sekali untuk membeli BB agar internet yang menghubungkan saya ke jejaring sosial bisa lancar tanpa hambatan (perlu nyalain laptop, nunggu laptop loading, masukin modem, harus duduk dan cari tempat pewe, dll).

1. Kejadian pertama adalah ada info workshop yang disebarluaskan melalui BBM, praktis teman-teman yang ber-BB sudah tahu dan mempersiapkan semuanya, sedangkan saya tahu 1 jam sebelum batas pendaftaran ditutup!

2. Kejadian kedua, berita tentang keadaan dosen yang berasal dari daerah yang sama dengan saya. kebetulan beliau sakit parah hingga kemudian meninggal. Saya tahu dari teman saya yang punya BB dan kemudian memberitahukan berita tersebut.

3. Kejadian ketiga adalah workshop juga, kali ini saya tahu setelah 1 hari pendaftaran ditutup!

4. Kejadian keempat workshop yang hampir sejenis, saya tahu dari teman saya yang ber-BB juga dan saya sempat mengajukan aplikasi sekalipun akhirnya tidak terpilh untuk mengikuti workshop.

5. Kejadian kelima, tugas yang saya buat dengan bagus sebanyak 7 halaman, ternyata dosen hanya meminta 3 halaman! Dan info ini tersebar malalui Tweeter yang sanya jarang buka dan anak-anak yang ber-BB yang selalu OL-lah yang tahu. Dan saya harus kalang kabut ke kosan lagi untuk ngedit dan ngeprint ulang!

6. Kejadian keenam, berita meninggalnya Dekan saya dan perihal rumah dukanya, tersebar melalui internet yang dengan mudah diakses oleh anak-anak yang ber-BB dari pada disebarluaskan memalui sms!

7. Kejadian ketujuh, saya harus ketinggalan latihan badminton mingguan karena info tersebar melalui tweeter dan gak lewat sms seperti dulu. Mereka malas ngirim sms yang menyedot banyak pulsa!

8. INFO SOAL UJIAN!!! dan diskusi-diskusi seputar materi yang akan keluar. Benar-benar membuat iri :(

9. Beasiswa, kesempatan magang, tersebar di tweeter yang saya jarang membukanya!

Yah, internet yang sekarang tersempitkan artinya ke BB memberikan kemudahan bagi para pemegangnya. Ada info magang, tinggal di lengkapi syarat-syaratnya dan apply lah. Ada info beasiswa, yang paling pertama tahu sehingga bisa cepat-cepat mempersiapkan diri. Dosen lama gak masuk kelas, tinggal BBM aja tuh dosen dan datanglah kabar kepastian apakah kelas ada atau dibatalkan. Detil tugas dan makalah, BBM aja dosen dan akan membalas dengan sangat cepat dari pada yang mengirimkan sms atau telfon langsung. Saya merasakan perbedaan yang sangat antara yang punya BB dan tidak, terutama masalah informasi yang faktual dan update!

Internet memang sekarang menjadi kebutuhan. Siapa yang punya sarana tercepat kesana, dia yang akan mendapat kemudahan selangkah lebih maju dari pada orang-orang yang tidak memiliki akses atau yang kesulitan mengakses. Saat ini BB menjadi alat utama itu, dan yang tidak punya BB seperti saya, harus bersabar dan memutar otak dua kali agar mendapat info yang sama dalam waktu yang agak sedikit lebih lambat tetapi masih punya peluang untuk mengejar. Yah, internet (BB) memang membuat penikmatnya XLangkah Lebih Maju!!!!! Sabar :D

Rabu, 23 November 2011

Nasib yang berbeda

Saya melihat banyak kejadian yang membuat saya menjadi sangat iba. Bahkan kadang ketika sampai di kamar kos, saya menangis sejadinya membayangkan bagaimana menjadi mereka. Yang pertama adalah penjual tisu di stasiun. Jika kalian melewati stasiun UI, kalian akan melihat banyak penjaja tisu, mulai dari yang tunanetra, yang berusia paruh baya, dan yang terakhir yang paling saya perhatikan adalah dia yang paling tua disana. Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di UI, tahun 2008, saya melihatnya masih bisa berdiri tegak dan menawari kami yang sedang manunggu di peron, barang dagangannya yang berupa tisu Paseo dengan harga jual 2000/pak. Hmm..memang agak mahal dari pada harga kebanyakan di toko, tetapi hitunglah ini sebagai apresiasi atas usaha mereka berjualan. Bagaimana jika para penjaja makanan dan barang-barang di stasiun beralih profesi menjadi penjahat, bukankah ini jauh meresahkan? Paling tidak dengan menjaga ritme pembelian, membuat kebutuhan hidup para pedagang tersebut terpenuhi.

Bapak tua tersebut, dulu masih bisa berjalan tegak dan mondar-mandir menjajakan dagangannya. Namun satu tahun terakhir ini, saya begitu kaget ketika ke stasiun dan mendapati bapak tua tersebut sudah mengenakan tongkat tua di kedua belah tangannya, untuk menjaganya tetap berdiri tegak. Barangkali usia sudah memakan kesehatan tulangnya sehingga terlalu berat menanggung beban tubuhnya. Kini dia berjalan dari peron yang ke arah jakarta, lalu bogor, dan begitu terus dengan membawa dua tongkatnya. Bapak tua ini begitu tabah dan konsisten menjaga kehormatan dirinya dengan terus bekerja. Bisa saja jika dia sudah menyerah, mungkin dia lebih baik meminta-minta seperti dua ibu-ibu yang selalu duduk mengantri di depan loket. Akan tetapi melihat kekukuhan dirinya, saya yakin dia tidak akan melakukannya. Harga kehormatan dirinya adalah dengan bekerja.

Lalu yang kedua adalah bapak penjual empek-empek yang rajin berjalan hingga ke daerah Gramedia. Saya kaget melihatnya disana, dan kemudian ketika sampai di kosan saya masih mendengar dia berteriak “empek-empek”, dengan khas suara cemprengnya. Jika melihat bapak itu yang berjalan tiap sore sampai menjelang jam 12 malam untuk menjajakan empek-empek, saya begitu terenyuh. Sayang saya sangat tidak suka empek-empek sehingga jika membelinya pun jarang saya makan. Saat pertama kali pindah ke kosan di Barel, saya sering mendengar suaranya di malam hari dan berteriak “empek-empek”, yang terdengar di telinga saya sebagai “tempe-tempe”. Penasaran dengan penjual tempe yang tetap berjualan sampai tengah malam, hingga 1 tahun kemudian saya tahu bahwa Bapak ini sebenarnya adalah penjual “empek-empek”. 1 bulan yang lalu, dia masih membawa dandang kecilnya untuk berjualan dan di tenteng sepanjang perjalanan yang ditempuhnya. Namun sekarang Bapak itu, yang ternyata tinggal di Lenteng Agung, berjualan empek-empek dengan membawa kotak plastik. Ketika saya bertanya, dia bilang dandang yang dipakainya sudah patah karena sudah bertahun-tahun. Saya pikir harga dandang lebih mahal dari pada plastik, dan keuntungan Bapak itu pasti tidak seberapa untuk bisa membeli dandang yang baru.

Ya Allah, saya melihat mereka begitu miris. Tidak tahu apa yang menyebabkannya, saya melihat mata tegar mereka, dan begitu terenyuh sehingga membuat saya terharu. Barangkali karena saya pernah berjualan kue di kampus, menjajakannya dari kelas ke kelas lain, dari teman satu ke teman yang lain, dari pagi sampai sore, sehingga saya sangat menghayati bagaimana perasaan mereka jika sampia malam tidak laku juga padahal kebutuhan hidup terus menuntut pemenuhan. Saya harus pula sabar dengan pandangan orang yang sinis. Saya harus sabar pula dengan predikat sebagai penjual donat, dan saya merasakan semua itu dengan perasaan layaknya pejuang kehidupan. Pejuang yang mempertahankan hidupnya.

Jika melihat kesenjangan ini, rasanya saya ingin marah. Marah yang semarah-marahnya kepada keadaan ini yang membuat manusia demikian terpisah jauh strata ekonominya. Marah dengan hak-hak mereka yang jarang terpenuhi. Marah karena mereka tidak bisa hidup dengan layak dan berpenghasilan cukup selama satu bulan. Negaraku yang menjamin kehidupan warga negaraya, semoga dalam tahun-tahun ke depan, pemerintah yang menjalankan fungsinya untuk menjalankan tujuan bersama bangsa ini, bisa konsisten menjaga hak-hak warga negaranya.