Selasa, 25 Mei 2010

Pemburu Harta Alas Samudra

BAK menjaga kitab kuno, Andi Asmara memegang buku tebal mirip ensiklopedia itu berhati-hati. Ditulis dalam aksara Cina, buku sebesar laptop 14 inci itu memakai judul Inggris: The Atlas of Shipwrecks & Treasure. "Buku ini hanya dimiliki terbatas komunitas harta karun dunia," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Indonesia itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Dua lemari tiga meteran penuh buku terpajang di ruang kerja Andi. Sebagian besar perihal harta karun, berbahasa Cina. Lainnya majalah dan kliping koran. Ia lalu membuka The Atlas di atas meja, menunjuk peta Indonesia. Di situ ada puluhan kotak dan lingkaran warna-warni. "Ini tempat kapal terkubur, semua ada 863 titik," katanya. "Yang kotak sudah diangkat, yang lingkaran belum."

Membangun bisnis di bidang properti, Andi mulai tertarik pada usaha pengangkatan muatan kapal tenggelam pada 1985. Ketika itu bisnis pengangkatan harta karun mulai bergairah, setelah dua tahun sebelumnya United Sub-Sea Services Ltd. sukses mengangkat barang-barang berharga dari perairan Riau dan Bintan. Dipimpin Michael Hatcher, pemburu harta kelas kakap dari Australia, United mendapatkan harta senilai US$ 17,1 juta-sekitar Rp 170 miliar dengan kurs sekarang.

Andi mendirikan PT Lautan Mas Bhakti Persada pada 1990. Perusahaan ini membuat "debut" dengan menyelami perairan Ternate, Tidore, Papua, hingga Flores. Semua didasarkan pada informasi nelayan. Operasi pertama ini kosong. Lautan Mas baru memperoleh buruannya sembilan tahun setelah didirikan. Dari perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat, perusahaan ini mengumpulkan 13 ribu keping keramik Siam dan Vietnam, keramik Cina Dinasti Song, dan keramik Dinasti Yuan. Semua barang baheula itu kini dititipkan di gudang PT Tuban Oceanic & Recovery milik kolega Andi, Budi Prakoso.

Kepada Tempo, Andi mengatakan menjadikan The Atlas of Shipwrecks & Treasure sebagai panduan. Menurut dia, buku itu dibeli dengan perjanjian untuk menyimpan rahasia. Karena itu, ia tak bersedia menyebutkan penulis atau penerbit buku itu. "Kalau semua orang tahu, repot dong bisnis saya," ujarnya.

Toh, sebetulnya, The Atlas buku biasa saja. Dari penelusuran di Internet, edisi bahasa Inggris buku itu dijual di situs Amazon.com. Buku baru dijual US$ 68, yang bekas dihargai sepersepuluhnya. Ada pula edisi koleksi, yang dijual US$ 41. The Atlas disusun oleh Nigel Pickford, arkeolog spesialis kapal karam kuno asal Inggris yang bekerja sama dengan Michael Hatcher mengangkat Kapal Vung Tau dari perairan Vietnam.

Seperti Andi menjaga "rahasia" The Atlas, bisnis harta karun ini penuh teka-teki. Satu hal yang pasti: kehadiran sang pemburu, Michael Hatcher.

l l l

PERAIRAN Indonesia sarat harta karun. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan, ada 463 titik lokasi kapal yang karam pada 1508 sampai 1878. Dari jumlah itu, baru 186 titik yang telah diketahui dengan pasti. Itu pun belum semuanya disurvei. Sejak masa silam, perairan Nusantara dilintasi berbagai kapal yang berlayar dari Cina, Vietnam, Thailand, Borneo, India, lalu menuju Jawa. Kapal tenggelam karena menabrak karang, diterjang badai, atau kalah diserang.

Berabad kemudian, muatan kapal itu menjadi bisnis menggiurkan. Setelah kisah sukses Hatcher mengangkat muatan The Nanking Cargo, pemain lokal bermunculan. Di antaranya Hutomo Mandala Putra, Budi Prakoso, Herman Spiro, dan Andi Asmara. Selain Hutomo alias Tommy, keluarga Soeharto lainnya tertarik. Ada Siti Hardijanti atau Tutut, Ari Sigit, juga Sudwikatmono.

Selain menggiurkan, menurut Adi Agung, Direktur Utama PT Paradigma Putra Sejahtera, yang bekerja sama dengan Cosmix Underwater Research Ltd. mengangkat barang-barang dari kapal karam di Cirebon, bisnis ini kejam. Sebab, tidak ada peraturan tegas yang mengaturnya. "Wilayahnya abu-abu," katanya. Menurut dia, banyak pemain melakukan pengangkatan tanpa izin atau menggunakan izin palsu. "Semua memiliki beking masing-masing."

Bisnis harta karun juga unik: membutuhkan modal besar, berisiko tinggi, tapi juga menjanjikan keuntungan besar. Dengan prosedur resmi, memang waktu balik modal sulit diprediksi. Sebab, pengusaha tak boleh menjual sebiji pun harta karun yang merupakan kekayaan negara. Barang hanya boleh dijual bersama pemerintah, dan hasilnya dibagi rata.

Menurut sumber Tempo di Kementerian Kelautan, persaingan keras terjadi di antara para pemain bisnis harta karun. Pemainnya sebenarnya tak banyak, tidak lebih dari 15. Itu pun tak semuanya aktif berburu. Selain nilai harta yang menggiurkan, persaingan dipicu oleh sedikitnya ahli harta karun. Perusahaan berebut tenaga ahli yang umumnya warga negara asing, termasuk Hatcher.

Pada 2002, misalnya, perusahaan Budi Prakoso mempekerjakan Hatcher. Namanya tercantum dalam surat kepengurusan izin pengangkatan yang dikirim PT Tuban Oceanic ke Angkatan Laut. Pada awalnya Budi membantah berhubungan dengan Hatcher. Tapi, setelah Tempo memperoleh dokumen pengurusan izin, ia mengakui pernah mempekerjakan sang pemburu harta.

Ia mengatakan Hatcher " terlalu banyak mengetahui isi perut perairan Indonesia". Karena itu, ia beralasan, merekrut pria sepuh itu untuk survei di perairan Selat Mare, Tidore, Maluku Utara, pada 2002. Tujuannya, kata dia, agar Hatcher bisa dikontrol dan tidak mencuri lagi. "Tapi, diam-diam dia kembali ke lokasi dan mau mencuri," ujarnya.

Hubungan Tuban Ocean dengan Hatcher pun putus. Tiga tahun lalu, PT Comexindo Usaha Mandiri mempekerjakan Hatcher. Ketika itu, menurut Direktur Hukum Comexindo, Haryo Yuniarto, perusahaannya belum masuk dunia pengangkatan harta dan baru membicarakan titik survei. Itu sebabnya, ia menuturkan, Comexindo mengundang para ahli, termasuk Hatcher.

Comexindo memiliki hubungan baik dengan Angkatan Laut. Perusahaan ini merekrut Laksamana Purnawirawan Achmad Sutjipto, mantan Kepala Staf Angkatan Laut, menjadi komisaris. Ada juga Laksamana Muda Purnawirawan Heribertus Sudiro, mantan anggota Fraksi Tentara Nasional Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai direktur. Kantor perusahaan ini pun memakai ruko milik Induk Koperasi Angkatan Laut.

Menurut Omar Fazni Rulyadi, Direktur Utama PT Adi Kencana Salvage, perusahaan pemburu harta karun lainnya, persaingan sebenarnya sudah dimulai sejak proses penemuan titik lokasi. Persaingan meningkat pada waktu mengurus izin survei. Pengusaha 30 tahun ini menyatakan pernah mengajukan izin survei di satu lokasi penemuan. Ternyata lokasi yang sama diklaim perusahaan lain. Informasi lokasi penemuan barang paling banyak diberikan nelayan. Tapi tak semuanya akurat. "Atau, informasi yang sama dijual ke perusahaan lain," tuturnya.

Adi Kencana termasuk yang aktif mencari, menemukan, dan mengangkat harta karun. Dalam laporan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Barang Muatan Kapal Tenggelam, Mei 2010, Adi Kencana mengangkat harta karun di perairan Karang Heluputan (2006) dan Teluk Sumpat (2006), keduanya di Kepulauan Riau. Satu lokasi lagi di perairan Laut Jawa, Jepara, pada 2008.

Untuk ketiga lokasi ini, Omar harus menggelontorkan hampir US$ 8 juta. Hanya, temuan sekitar 60 ribu keping harta dari Dinasti Ching, Ming, Yuan, dan Sung itu kini masih terdampar di tiga gudang yang disewa Omar, menunggu lelang bersama pemerintah. "Selama itu, saya harus bayar sewa gudang, perawatan dan pengamanan Rp 75 juta sampai Rp 100 juta setiap tahun," katanya.

l l l

MALANG-melintang di bawah laut sejak awal 1980-an, Berger Michael Hatcher kembali ramai dibicarakan. Dari sebuah video yang diputar Konsorsium Penyelamat Aset Bangsa beberapa waktu lalu, jagoan pemburu harta karun ini diduga beroperasi di perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat, pada Juni 2009. Dia terlihat memamerkan sejumlah barang porselen yang, menurut dia, berasal dari Dinasti Ming.

Aksi kakek 70 tahun ini mengejutkan pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sebuah tim terpadu dibentuk Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Tim ini melibatkan Direktorat V Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Polisi pun meminta Direktorat Imigrasi mencegah Hatcher keluar Indonesia.

Kepolisian menyelidiki keterlibatan Hatcher dalam pencurian benda berharga. Selasa pekan lalu, pria kelahiran Inggris ini dipanggil ke Badan Reserse. "Dia tidak datang," ujar Direktur Direktorat V, Brigadir Jenderal Suhardi Alius, Jumat pekan lalu. Dia memastikan, Hatcher belum menjadi tersangka. "Kami masih mengumpulkan keterangan," tuturnya.

Pekan ini Badan Reserse kembali melayangkan panggilan pemeriksaan. Suhardi memastikan, Hatcher masih berada di Jakarta. Sumber Tempo menyebutkan Hatcher tinggal di Hotel Sultan, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Ketika dimintai konfirmasi, Zhakira Tamayanti, manajer humas hotel itu, membenarkan Hatcher pernah menginap di sana. "Saya tidak tahu kapan persisnya dia keluar," katanya.

Michael Hatcher adalah legenda hidup perburuan harta karun. Namanya mulai banyak disebut ketika berhasil mengeruk 225 lantak emas dan 150 ribu keping keramik Cina dari bangkai kapal Vec De Geldermasen di perairan Bintan Timur, April 1985. Dikenal sebagai The Nanking Cargo, kapal itu tenggelam pada 1752. Hatcher meraup US$ 15 juta dari pelelangan barang-barang itu di Balai Lelang Christie, Singapura.

Meski ditangkal masuk Indonesia, Hatcher tetap menyelami dasar samudra memburu harta. Pada Mei 1999, ia menemukan onggokan kapal Tek Sin Cargo, yang tenggelam pada 1822 di Selat Gelasa, seputar Pulau Bangka. Pemerintah buru-buru mengancam mengumumkan itu harta karun ilegal, sebelum Hatcher melelang temuannya di Stuttgart, Jerman, pada 17-25 November 2000 (lihat "Mengejar Sampai Stuttgart").

Kehadiran Hatcher di perairan Blanakan pada Juni 2009, menurut Koordinator Konsorsium Aset Bangsa, Endro Soebekti Sadjiman, sebagai konsultan yang dikontrak perusahaan lokal, PT Comexindo Usaha Mandiri. Aktivitas Hatcher itu tanpa izin pemerintah. "Sebab, izin baru diberikan kepada Comexindo pada November 2009."

Budi Prakoso, pemilik PT Tuban Oceanic Research & Recovery, menuduh Hatcher bahkan sudah mengeruk harta sebelum izin survei keluar. Padahal izin survei dan izin mengangkat barang muatan kapal tenggelam dikeluarkan terpisah. Dugaan penyimpangan izin oleh Hatcher dan Comexindo itulah yang dibidik polisi. Itu sebabnya, para petinggi Comexindo telah dimintai keterangan.

Ditemui di kantornya di kawasan Kelapa Gading Boulevard, Jakarta Utara, Direktur Hukum Comexindo Haryo Yuniarto membenarkan pemeriksaan polisi. Menurut dia, polisi telah memanggil Direktur Utama Comexindo Anton Nangoy; Direktur Operasi Edwin Tanod; penyelam Gunawan, Buyung, dan Qoyum; tenaga administrasi Saiful; serta teknisi Nazlie Kurdi, yang berkewarganegaraan Singapura.

Haryo mengatakan, tidak benar Comexindo melakukan pelanggaran penyelaman. Didampingi Laksamana Muda Purnawirawan Heribertus Sudiro, ia menunjukkan surat izin survei dan izin pengangkatan untuk proyek Blanakan. Ia pun menegaskan Comexindo sama sekali tidak lagi melibatkan atau berkomunikasi dengan Hatcher. "Terakhir berkomunikasi empat bulan lalu," tuturnya.

Dia pun berencana meminta pertanggungjawaban Konsorsium Aset Bangsa, yang menyebutkan Hatcher sebagai konsultan perusahaannya. Ia mengatakan tuduhan itu dilemparkan perusahaan lain yang iri pada temuan Comexindo. "Kami kan mendapat barang bagus dari Blanakan."

Anne L. Handayani, Muhammad Nafi

Harta yang Terungkap

1983

Riau

  • Muatan: 22 ribu keping porselen Dinasti Ming
  • Pemilik: United Sub-Sea Services, Ltd. (Michael Hatcher)
  • Nilai lelang: US$ 2,1 juta

Bintan Timur, Riaul 239 ribu keping porselen dan 45 kilogram emas.

  • United Sub-Sea Services, Ltd. (Michael Hatcher), Swartberg Ltd.
  • US$ 15 juta

1999

Heluputan, Riau l 37 ribu keping keramik Dinasti Song

  • PT Ekalingga Adikencana (Herman Spiro)

Pulau Buaya, Riaul 31.370 keping guci, cupu, kendi, piring, pot keramik Dinasti Sung dan Yuan

  • PT Muara Wiwesa Samudra (Tommy Soeharto/Chepot Hanny Wiano)
  • US$ 15 juta

Bangka, Sumatera Selatan l 46 ribu keping barang antik Cina Dinasti Tang

  • PT Sulung Segarajaya (Oky Otto-Otto)

Perairan Blanakan, Jawa Baratl 13 ribu keping keramik Thailand dan Vietnam, keramik Cina Dinasti Song dan Yuan

  • PT Lautan Mas Group (Andi Asmara)
  • Belum ada penawaran Perairan Jepara, Jawa Tengahl 28.500 ribu keping keramik Dinasti Ming
  • PT Ekalingga Adikencana (Herman Spiro)
  • Rp 800 juta Selat Gelasa, Sumatera Selatanl 350 ribu keping barang antik terdiri atas porselen jenis piring biru-putih, keramik seladon jenis piring, porselen poci berukir naga abad ke-15, dan patung granit
  • PT United Sub-Sea Services Indonesia (USSI) Suwanda dan Michael Hatcher
  • DM 35 juta (setara dengan Rp 140 miliar pada kurs Rp 4.000)

Perairan Tuban, Jawa Timurl Ratusan mangkuk Vietnam abad ke-4 dan tembikar Cina Dinasti Han

  • PT Tuban Oceanic & Recovery/(Budi Prakosa)
  • Rp 350-400 ribu per keping Perairan Tidore, Malukul Keramik Dinasti Ming l PT Baruda Persada Internusa (Andy Asmara)

Selat Gelasa, Sumatera Selatanl 3 karung keramik l PT Samudera Kembar Jaya Selat Gelasa, Sumatera Selatanl 33 kontainer barang antik Dinasti Ching

  • PT Sub-Sea Services Indonesia dan PT Persada Cakrawala Dirga (Hatcher & Suwanda)
  • US$ 1,5 juta (setara dengan Rp 10,5 miliar pada kurs Rp 7.000)

2002

Selat Karimata

  • 31.029 keramik dan dan logam Cina Dinasti Yuan
  • PT Tuban Oceanic Research & Recovery (Budi Prakosa)

2005

Laut Jawa, Cirebon

  • 271.834 keramik, logam, perhiasan Cina lima Dinasti, Timur Tengah, Afrika
  • PT Paradigma Putra Sejahtera (Adi Agung)
  • US$ 42,575 juta

2006

Karang Heluputan, Riau

  • 21.521 keramik, jangkar, meriam, logam Cina dinasti Ching dan Ming
  • PT Adikencana Salvage
  • US$ 493,7 ribu

Teluk Sumpat, Riau

  • 16.461 keramik dan batuan Cina Dinasti Yuan dan Ching
  • PT Adikencana Salvage
  • US 175,2 ribu

2008

Laut Jawa, Jepara

  • 14.814 keramik dan koin Cina lima dinasti
  • PT Adikencana Salvage

Laut Jawa, Karawang

  • 6.422 keramik Cina lima dinasti
  • PT Adikencana Salvage

2009

Perairan Belitung Timur

  • 34.680 koin, meriam, keramik abad ke-18

April 2010

Perairan Ujung Pamanukan

  • 18.551keramik Cina Dinasti Ming
  • PT Comexindo Usaha Mandiri (Anton A. Nangoy

Diakses dari: Tempo Interaktif pada tanggal 26 Mei 2010
http://majalah.tempointeraktif.com//id/arsip/2010/05/24/LU/mbm.20100524.LU133632.id.html

Tidak ada komentar: