Jumat, 26 Juni 2009

IBU LIA BERBICARA

Selama kuliah saya ingin hidup mandiri sehingga saya memanfaatkan waktu dengan berdagang, karena istilah berdagang dirasa terlalu berat, mungkin saya bisa ganti dengan berjualan. Pertama kali berjualan saya jualan donat. Bagaimana perasaan saya waktu pertama klai jualan? Tentu saja wajar sebagai mahasiswa saya agak sedikit merasa “gimana gitu”. Saat membawa box donat seolah-olah semua mata menatap ke arah saya dan memandang dengan pandangan sinis. Tetapi setelah saya pikir-pikir, itu hanya perasaan saya saat melakukan hal yang di luar kebiasaan orang dan betapa malunya saya jika hal itu saya jadikan alasan unutk menyerah. So? Jadilah hari-hari saya tidak lepas dari skenario “jualan donat” sehingga image donart selalu melekat di Eny saat di Fakultas Hukum. Pertama kali ada julukan “Gadon” sebagai akronim dari gadis donat, rasanya agak gimana gitu, tetapi yah saya lewatin aja dan lama-lama saya enjoi dengan apa yang orang ucapkan. Toh gak akan signifikan pengaruhnya dengan hidupku.
Nah, episode hidup saya berganti sekarang begitu memasuki musim liburan dan SP. Saya yang notabene tidak ikut SP merasa sepi juga hari-hari dilewatkan tanpa ada pemasukan, dan akhirnya saya putuskan untuk berjualan lagi. Donat saya rasa kurang prospektif di tengah suasana kampus yang suepi pol gini, maka saya berpindah dari jualan donat ke jualan dadar. Tetapi dengan pertimbangan SP juga saya tidak mungkin berjualan langsung ke teman-teman, sehingga atas rekomendasi teman yang lain di Fakultas Hukum (berinisial F)saya setiap hari memasok Dadar ke Kopma FHUI.
Ada cerita unik dari Dadar ini.
Saya mengambil dadar dari seorang Ibu yang bernama Ibu Lia. Beliau adalah pedagang makanan yang rutin mengitari Asrama Mahasiswa UI setiap pagi dan malam hari. Yang saya tahu, beliau membawa dua kantong plastik besar yang itu bueraaatt banget (saya pernah mencoba mengangkatnya). Makanya saya jadi ingat Ibu saya di Desa melihat perjuangan beliau bekerja keras (anaknya tengah skripsi di Ilmu Komunikasi UI) untuk menghasilkan uang yang semakin sulit didapatkan.
Tanggal 24 Juni 2009, tepatnya hari Kamis beliau mengambil box dan mengantarkan Dadar untuk saya jual ke Kopma. Karena kemarin(Rabu) saya lupa mengambil box di Kopma, jadinya Ibu Lia nungguin saya kembali dari Fh untuk mengambil box dan uang Dadar hari Rabu. Kejadian ini terjadi di Kantin Asrama.
“hari sabtu saya mau ke semarang En, jadi seminggu ke depan ibu libur bikin kue”
“wah, eny juga ikutan libur dong bu” aku menjawab dengan sedikit bercanda.
Ibu Lia tertawa kecil, menampakkan ekspresi kelelahan dan pandangan sayunya melewati perjalanan hidup panjang yang akan dia lalui.
“Ibu mau ke tempat anak ibu yang di Semarang, mungkin selama seminggu ibu akan disana”
Lalu Ibu Lia melanjutkan ceritanya, bahwa anak-anaknya ingin sekali membawa si Ibu ini untuk tinggal bareng, gak tega melihat ibu Lia sendirian bekerja keras di tengah kerasnya kehidupan Jakarta. Saudara-saudara beliau pun juga banyak yang menawarkan tempat tinggal agar beliau ada yang menjaga dan merawat, karena Ibu Lia juga sudah berusia agak lanjut. Nah, beliau selalu kekeh sama pendiriannya. Tipikal orang tua berdarah Jawa, memiliki tradisi bahwa “saya pantang seperti sapi nyusu gudel”, istilah Indonesianya “saya pantang seperti sapi yang menyusu kepada anak sapi”
“saya tidak mau numpang dengan orang lain En, sekalipun dia anak Ibu sendiri, saudara Ibu sendiri”
Begitu argument beliau menanggapi ajakan anak dan saudaranya.
“Kenapa tidak mau Bu? Kan enak jika bisa ngumpul sama keluarga dan cucu di rumah?”, saya mencoba mencari alasan yang lebih signifikan daripada sekedar tradisi. Saya yakin setiap orang punya independensi dalam memlilih jalan hidupnya terlepas dari aturan tradisi dan kebiasaannya.
“Ibu tidak ingin hati Ibu terjajah En, Ibu ingin merdeka, Ibu ingin melakukan perjuangan hidup ibu yang sudah senja tanpa kungkungan dari orang lain, apalagi dari anak-anak yang sudah ibu besarkan. Ya, ibu memang ingin hidup seperti ini, bebas dan merdeka”
Saya terkesiap dengan jawaban Ibu Lia, saya tidak tahu apa yang membuat saya merasa harus kagum padanya, tetapi jawaban itu seketika membuat saya “oh…begini ya seharusnya manusia hidup? Memiliki kemauan kuat untuk selalu bisa bertahan dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain?”. Pembicaraan kami berakhir sampai disini karena Ibu Lia harus segera kembali ke rumahnya. Tetapi saya mengambil banyak analogi kehidupan Ibu Lia, jika kumpulan Ibu Lia menjadi jiwa-jiwa yang hidup di seluruh bumi pertiwi ini, saya yakin bangsa ini akan menjadi bangsa yang punya independensi, punya kekuatan, punya prinsip, dan punya arah hidup yang pasti. Cerita ini eny tagg di facebook sebagai wawasan buat siapa saja yang membacanya, buat siapa saja yan menyadari bahwa perjuangan tidak akan pernah berhenti disini, bahwa masa depan yang sesungguhnya akan datang sebanding dengan seberapa keras kita membangunnya dari sekarang.
Episode kue Dadar yang membawa inspirasi buat Eny, dan ini sebagai ajang promosi juga akhirnya (mungkin)…tapi dadar bikinan Ibu Lia memang enak, gorengannya juga enak dan murah tentunya. Selamat mencicipi episode kehidupanyang akan kita lalui…semoga seenak dadar bikinan Ibu Lia…hohohohoooo…

(*_*) cerita ini dari pengalaman penulis pribadi…

1 komentar:

eny mengatakan...

ibu lia sedang ke semarang sekarang, jadi aku gak bisa jualan lagi deh sekarang...