Jumat, 13 Maret 2009

PUZZLE PERSAHABATAN

Depok, 08 Maret 2009

Seperti biasa di hari Minggu yang cerah dan membosankan. Aktifitas rutinku bisa ditebak setiap hari Minggu. Bangun agak terlambat karena tidur lagi usai sholat shubuh, lalu kalau tidak ada halangan atau mungkin sedang ingat aku, Bapak atau Ibu telfon menanyakan keadaanku. Mungkin obrolan akan berlangsung sekitar 30 atau 60 menit dan untuk selanjutnya aku masih bingung akan melakukan apa. Biasanya aku akan mengisinya dengan membersihkan kamarku habis-habisan, seperti mencuci seprei, menata buku-buku yang berantakan, menata baju, mencuci baju, tetapi entah kenapa untuk satu hal saja, menyeterika, aku sangat ogah melakukannya dengan senang hati. Entah karena alasan apa, menyeterika adalah hal yang sangat membosankan dan menguras tenaga.

Hari ini lain dari biasanya, setelah beberapa minggu ibu tidak menelfonku, ibu telfon juga akhirnya. Aku menghindari untuk terlalu sering berinteraksi dengan rumah, akan membuatku down bila ada sedikit masalah yang menyerangku disini.

“En, ganti ke nomor m3 ya” demikian ibu memintaku pada telfon keduanya, telfon yang pertama entah kenapa terputus. Tanpa menunggu jawaban “ya” ibu sudah mematikan telfon dan aku segera memenuhi permintaan ibu dengan sedikit terhuyung-huuyung. Maklum, aku baru saja membuka mata ketika ibu membangunkanku dari tidur malas di hari Minggu.

”Drrrtt..drtttt...drtttt” hape ku begetar, dan di layar tertulis ”luphy mom” dan kusegerakan untuk mengangkatnya.

”Mbak Eny...mbak Eny, udah bangun belum?” suara cempreng adikku yang berbicara

”Udah dek, adek udah bengun belum?” aku gantian bertanya pada adik kecilku yang kedua

”Sama, aku juga udah bangun mbak” dia selalu tidak mau kalah denganku, dasar sama-sama perempuan, mungkin ada perasaan ingin berkompetisi tidak sadar dalam kepala setiap manusia yang terlahir sebagai saudara.

”Bedanya, adek nangis dulu habis bangun tidur, ngompol, ngiler, iya kan?” aku menggodanya

”Nggak kok” katanya membela diri

”Besok hari selasa aku masuk mbak, tidak pakai seragam lho, Bu Guru menyuruh memakai baju muslim, ada muludan, bawa makanan juga” dia pamer padaku dengan senang dan riangnya. Ah, anak kecil memang begitu, karena aku dulu juga merasa begitu bahagia ketika hari-hari besar agama islam dan kami tidak perlu memakai seragam sekolah, yang paling menarik tentunya kami harus membawa makanan ke sekolah untuk dimakan bersama-sama. Wiiiihhhh....jadi teringat pada kenangan masa lalu.

”En, ini ibu” ibu mengambil alih telfon rupanya, adek terlalu banyak mengambil jatahnya untuk mengbrol denganku. Lalu cerita mengalir setelahnya. Ibu bercerita tentang Eny, temanku waktu SD yang ternyata adalah putri dari teman ibu dan ayahku.

”dia mendapat musibah” ibu mengawali topiknya. Ketika mendengar berita itu, sekilas hatiku miris. Yang aku tahu keluarga Pak Ponidi, ayah Eny selalu mendapatkan kejadian yang tidak mengenakkan terkait dengan keturunannya. Dari ke lima anaknya -kalau tidak salah anaknya ada lima- yang paling cerdas adalah Eny dan kakak perempuan pertamanya. Pak Ponidi hanya memiliki satu orang anak laki-laki, dan itu pun sudah meninggal saat aku masih kelas 2 SMA. Aku ingat sekali kejadian itu. Eny sempat belajar bersamaku di Kediri, dia hanya belajar di pesantren saat sore hari dan paginya dia membantu Bulekku. Saat itu Bulekku membutuhkan perewang untuk meringankan pekerjaan rumah tangga, sekalipun aku tinggal di rumah Bulek dan pekerjaan rutin di pagi hari sebelum berangkat sekolah telah kujalankan beliau masih merasa kurang. Dan aku memakluminya, pekerjaan rumah tangga memang sangat melelahkan, apalagi Bulek hafiz Al Qur’an, sudah tentu waktunya akan banyak terkuras dengan hafalan itu, belum dengan kedua anaknya yang masih kecil, belum kewajibannya sebagai isteri yang bejibun, dan untuk meminta tolong padaku pun pasti beliau sungkan juga kalau terlalu terus-menerus. Akhirnya Ibu memberi solusi pada Bulek, dia meminta Eny yang di rumahnya tidak melanjutkan sekolah dan cukup belajar di pesantren untuk ”membantu”, sekaligus menemaniku agar aku mau ”kembali belajar di pesantren”. Ibu sudah kepalang pusing tujuh keliling menyadari bahwa putri pertamanya mulai lepas kontrol dan tambah parah saja kadar bandelnya. Waktu itu aku sempat protes karena meminta untuk kos, sedang ibu tidak mengizinkan. Alhasil aku mogok sekolah selama hampir dua minggu, ogah berangkat ke Kediri dan hanya ngetem di rumah sambil nonton televisi. Momen itu bertepatan juga dengan Bulek yang membutuhkan perewang, dan jadilah Ibu memintaku berangkat ke Kediri menemani Eny, atau Eny yang harusnya menemaniku? Ah, tidak jauh beda sebenarnya, hanya akal-akalan orang tua untuk memenuhi harapan mereka terhadap anaknya. Jadilah dua orang ”Eny” di rumah Bulek, dan untuk menghindari kerancuan penggilan nama, Bulek memanggil Eny dengan sebutan ”Pur”, berasal dari nama belakang Eny, yaitu Eny Purwati.

Waktu aku masih SD, aku ingat pihak sekolah membuatkan akte untuk murid kelas enam. Ternyata ada kesalahan penulisan pada akte kelahiran Eny. Jadilah Pak Andi guru yang bertugas sebagi koordinator akte menginterogasi Eny di depan kelas.

”En, di akte ini nama kamu berubah, yang aslinya Eny Purwanti menjadi Eny Purwati. Dari Eni yang memakai ”i” menjadi Eny yang memakai ”y”. Nah, Bapak ingin bertanya, nama kamu ingin tetap Purwanti atau Purwati? Biar tidak terjadi perbedaan nama di ijazah dan akte, mulai sekarang disamakan” beliau menanyai Eny dengan lantang. Aku ingat teman-teman berkoor ketika mendengarkan pengumuman ini. Salah pak Andi juga mengumumkan hal seperti ini di depan kelas.

”Pakai ”Y” aja En, biar sama dengan ku” aku menawarkan solusi yang menggelikan kalau ku ingat-ingat sekarang di usiaku yang sudah menginjak 19 tahun. Maklum, anak kecil sangat suka dengan segala hal yang sama dengan teman-teman sebayanya.

”Trus pakai Purwati aja, lebih bagus kayaknya daripada Purwanti” aku menambahkan option nama yang menurutku bagus untuknya.

Sekilas dia terlihat bingung, tetapi saat itulah aku terus mempengaruhinya hingga dia setuju. Ketika mengingat secuil masa laluku aku merasa sediki berdosa, dan merasa sebenarnya hidup adalah puzzle yang tidak mungkin dipisahkan karena di dalamnya semua saling mempengaruhi. Kita berdua yang ketika masih ingusan begitu erat bersahabat. Ketika kami berpisah setelah Ujian Akhir dan aku memutuskan melanjutkan di tempat yang jauh, Kediri, terlepas dari teman-temanku di Blitar. Eny, kita berdua sama-sama memiliki nama Eny, dan bukan barangkali lagi, Sahabat,,,pantas untukmu seluruh hormatku, pantas untukmu dayang-dayang dan istana-istanaku, pantas untukmu air mataku yang tersisa, untukmu seluruh keheningan dari pertapaanku, sebagai belas dan rasa hormatku. Aku, hadirmu dalam hidupku (dari sahabatku yang meninggal, LALA)

Bersatunya kembali dua orang Eny ternyata tidak berlangsung lama, hanya satu bulan, waktu yang sangat singkat. Dia harus pulang kampung ketika mendengar bahwa neneknya sakit. Sebenarnya sejak Eny berangkat itu pun neneknya sudah sakit, tetapi ternyata sang Nenek sudah saatnya harus berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa, esok hari setelah Eny tiba di rumah. Eny memutuskan pulang hari Sabtu, dan Ahad pagi sang Nenek di bawa ke rumah sakit tetepi tidak terselamatkan. Sampai disini, pada takdir kita masih berpikir biasa-biasa saja lah, orang tua memang bisa kapan pun meninggal. Tetapi tangan-tangan Tuhan berkehendak lain, karena Allah SWT selalu menguji hambaNya yang paling kuat dengan ujian dan ujian lagi. Tahukah kita? Ternyata kehidupan sedemikian mudah di ciptakan dan dihempaskan oleh Dzat Yang Maha Kuasa. Saat orang-orang kebingungan membawa jenazah Nenek dari Rumah sakit kembali ke rumah, drama kehidupan yang menyayat memang harus diterima oleh keluarga yang sangat tangguh ini. Putra Pak Ponidi satu-satunya, yang paling kecil, meninggal dunia karena demam di rumah, saat orang tua dan kerabatnya sedang sibuk mengurus sang Nenek. Jadilah hari Ahad itu adalah hari yang sangat mendung untuk keluarga itu. Masih terekam dalam benakku Eny yang shok kehilangan 2 orang yang dicintainya dalam sehari. Dia tidak bisa diajak bicara hingga dua minggu ke depannya. Meringkuk di tempat tidur, dan air mata yang terus menetes di kedua matanya.

Hanya itukah? Tidak teman, ini adalah sebuah kisah yang nyata dan seolah seperti drama, tetapi kenyataan ini terjadi di sebuah desa kecil di Kebupaten Blitar. Kakak Eny yang kedua, keiga, dan adik perempuan Eny mengalami kelemahan berpikir, mereka sedikit terbelakang untuk masalah kecerdasan otak. Terbukti mereka selalu tinggal kelas untuk waktu yang lama. Kakak pertama dan Eny saja yang memiliki kecerdasan dan kemampuan yang selayaknya. Kakak pertama Eny memiliki suami, dan entah setan apa yang merasuki laki-laki itu, pada suatu malam dia melampiaskan nafsunya pada kakak Eny nomor dua hingga menjadi benih bagi makhluk ciptaan Allah yang suci. Saat itu, kakak Eny baru pulang mengaji melewati jalan setapak kecil yang sekelilingnya masih berupa lahan persawahan. Sudah tentu karena kejadian ini berlangsung di desa, berita yang berisi aib jauh lebih cepat menyebar dan sanksi sosial yang diberikan juga jauh lebih kejam daripada sekedar dihukum secara fisik. Hinaan, cacian, dikucilkan, barangkali menjadi santapan keluarga ini yang sudah biasa mereka rasakan.

Lalu sekarang.....

“Eny mendapt musibah En” ibu mengulangi ucapannya, sendu.

“Ada orang yang demikian bermaksud jahat menghancurkan hidupnya, orang itu merusak wajahnya dengan menyiram minyak goreng panas ke wajahnya. Sekarang wajahnya rusak, tidak berwujud seperti wajah lagi. Leher, telinga, dan bagian sekitar wajah benar-benar seperti daging matang, menghitam” ibu mengatakan padaku dengan terbata-bata.

“astaghfirullahal ‘adzim” aku berseru kaget

“serius bu?” setengah tidak percaya berusaha mempertajam pendengaranku. Rasa kantuk yang tadi menyergapku sekaligus hilang karena rasa kaget.

“iya en, masa ibu mau bohong? Ibu langsung telfon karena kawatir padamu juga, ibu mohon sekali jaga diri baik-baik disana ya nak, jangan mudah percaya pada orang dan hati-hati kalau bergaul dengan orang asing” beliau mewanti-wantiku, lalu pembicaraan panjang yang berisi nasehat pun berakhir. Masih menyisakan rasa shok dan perasaan mustahil. Teman yang dulu mengisi hari-hariku, bermain bersama, mengerjakan tugas kelompok, tawa bersama, secuil kenangan waktu SD terpatah-patah masuk dalam ingtanku. Dan ketika mendengar berita ini, sepotong hatiku seolah ikut hancur, sepotong jiwaku yang pernah ada bersamanya ikut terbang, dan sebatas kelemahan diriku, untaian do’a memohon kesabaran atas musibah silih berganti yang diterimanya.

Sebatas yang kutahu kemudian, ternyata ada seorang laki-laki dewasa yang menyukai Eny dan tidak berani menyampaikan kepada keluarga Eny untuk meminangnya. Sementara di lain pihak ada orang yang telah melamar Eny dan ingin membina hubungan yang serius antara dua keluarga. Motif cemburu, dan....pengecut yang membuat masa depan Eny hancur. Jika Doraemon itu ada, aku ingin pinjam pintu ajaib padanya, aku ingin menjengk sahabat lamaku yang dirundung duka lara, aku ingin sekedar datang untuk ketiadaan yang kuhadirkan padanya. Sahabat....kilauan permata takkan membeli bahagiamu, bukan juga tarian untuk menyambut kedatanganmu, bukan juga jamuan untuk memuaskan dahagamu dari perjalaan jauh dan melelehkan.... (dari sahabatku yang meninggal, LALA)

By : Eny Rofi'atul N.

Tidak ada komentar: