Jumat, 13 Maret 2009

OJEK PAYUNG…

SEBUAH JASA YANG PENUH RASA IRONI

Hari ini, tepatnya Kamis, 5 Maret 2009. Setelah dari MUI dan menyegat (bahasa jawa itu, yang artinya memberhentikan, menunggu untuk naik lah) bikun, dan apesnya warna biru sehingga aku memutuskan untuk berhenti di stasiun UI, kebetukan juga aku belum membeli Koran hari ini. Berita hari ini apa pun aku gak tahu sama sekali. Entah kenapa aku kurang merasa prefer dengan membaca hanya satu koran saja. Makanya semenjak awal Minggu ini, tepatnya hari Senin aku memutuskan untuk membaca dua merek koran yang lumayan baik menurutku. Media Indoesia dan Tempo tentunya. Setelah membeli, aku menunggu di halte stasiun dengan baju yang lumayan basah, tadi hujan kutebas aja. Malah ada pikiran gilaku untuk hujan-hujan, tetapi baru nyadar bahwa kesehatan itu mahal harganya apalagi minggu depan adalah musin UTS. Sakit yang sudah bisa diprediksi hanya akan menjadikan diriku tampak bodoh di depan diriku sendiri...?????paham kan maksudnya??

Ya begitulah kronologis cerita mengapa diriku yang kecapekan bisa duduk di stasiun dan memikirkan untuk membuat sebuah tulisan tentang fenomena hidup yang sesungguhnya. Aku baru nyadar bahwa ada kejadian ini hari ini, dan terutama (pastinya) terjadi di musim hujan. Ada beberapa anak kecil tengah menawarkan jasa payung, dan ada juga orang yang dengan senang hati (atau kasihankah?) memakai jasa anak kecil itu untuk memayungi dirinya dari mulai turunnya bikun di sebelah kiri jalan hingga menyeberang jalan menuju stasiun. Ada anak yang menawarkan jasa payungnya padaku, tentunya aku menolak lho. Kalau aja dia tahu tadi aku bermaksud hujan-hujanan dari MUI ke stasiun pasti tidak pernah terbesit satu keinginan pun untuk menawariku jasa ojek payung.

LALU??? SO what gitu dengan mereka?

Akan kuhubungan dengan dosen HTN ku yang sangat mumpuni di bidangnya (ya iyalah, namanya juga dosen…..)………..

Beliau tadi menawari kami yang berada di kelas A, apabila mau mendapatkan nilai A untuk HTN, harus beli buku punya nya Bpk Jimly Assiddiqie. Ada dua jilid bukunya. Beliau bilang untuk membelinya bisa di Gramed, atau langsung aja ke Toko Buku MK….dan bisa ditebak, keluarlah koor serentak hampir semua anak yang duduk di depan (karena yang di belakang paling bontot, gak bakal denger karena sibuk kuliah privat. Paling cuma ikutan hahahahhihiihi). Apa tanggapan beliau ketika mendengarkan koor itu?

“Ya saya maklum sekali. Generasi sekarang memang manja-manja, terutama mahasiswa. Dulu saja saya waktu masih jadi mahasiswa yang namanya buku akan kami kejar sampai ke ujung dunia, gak seperti kalian, yang loyo dan tidak bersemangat” beliau menuturkan kritikan tajamnya atas menurunnya partisipasi mahasiswa. Padahal itu demi kebaikan transkip nilainya lho.

Nah, sekarang coba dibuat sebuah hubungan antara kejadian ojek payung dengan menurunnya semangat etos perjuangan mahasiswa.

Seorang anak kecil yang memanfaatkan kerancuan cuaca untuk mencari nafkah, coba bayangkan seandainya yang memberi ojek payung itu orang dewasa? Adakah orang normal (kecuali bukan pacar atau saudaranya) yang mau megojek? apa yang sebenarnya terlihat dari mereka? Yuppp,,,benar sekali, pengharapan untuk dikasihani dan kemudian mendapatkan imbalan yang layak atas jasanya yang tidak seberapa. Eiiiitttssss …jangan bersu’udzon dulu dengan pendapatku ini.

Untuk sementara masalah ekonomi dan finansial jangan dilibatkan terlebih dahulu, meskipun seharusnya harus dikaitkan sejak awal, tetapi aku masih sulit mencari korelasi yang pas untuk hubungan sebab akibat yang sinkron. Tapi….coba aja simak dulu.

Secara tidak sadar kehidupan kita di bumi Indonesia yang kaya, subur, adil, dan makmur ini memang membingungkan dan mendebarkan. Sejak akhir-akhir ini, entah ada yang merasa perbedaanya atau tidak (semoga bukan dosen HTN ku aja yang merasa) manusia kita begitu cemen dan mudah menyerah. Dan kenapa yang menyerah ini justru mereka yang berada di masyarakat menengah ke bawah? Padahal presentase jumlah dan kualitas mereka adalah yang paling besar di Indonesia ini. Lihatlah keseharian kita yang selalu diliputi oleh rasa membelaskasihani, atupun sebaliknya, dibelaskasihani. Dan kenapa lagi kita menjadi hanyut dalam pola pandangan itu? Kita menikmatinya, menjalaninya, dan bahkan aplikasinya kita pakemkan dalam memori otak yang berkepanjangan dan terus menerus. Barangkali kita manusia yang pernah terdidik ini perlu memilah-milah dan berpikir lebih jauh lagi tentang sebab akibat dan fenomena yang berpotensi menjadi sebab ataupun akibat. Kasihan, sebuah feel yang manusiawi, tetapi ketika itu dijadikan sebuah patokan dan tolak ukur penilaian, sebuah kehancuran yang akan menimpa umat manusia.

Lihatlah anak-anak jalanan dan mereka yang berjenis sama dengan mereka, semua mengharapkan rasa kasihan bagi setiap orang yang dirasa mampu untuk memberikan recehan ataupun gocengan yan cukup buat untuk mengganjal perut di hari itu. Apa yang terjadi setelahnya? Mereka mengalami degradasi semangat, dan itu karena apa? Banyaknya orang yang masih mau memberi mereka rasa belas kasihan, makanya dalam pikiran mereka terlintas “ngapain gw kerja? Minta atau ngamen aja bisa buat makan sehari ”. Oke, mungkin pendapat yang saya berikan ini akan di cerca oleh banyak orang, terutama orang yang merasa ilfil dengan pemerintah, karena kegagalan perekonomian Indonesia selalu bertambah gagal setiap pergantian pemimpin dan musim-musim perebutan kekuasaan.

Saya pernah melihat seorang anak yang dia perpura-pura pingsan di jalan belakang Detos (yang tembus ke Gang Senggol), dan ada teman-temannya yan berpura-pura panik. Sampai sejauh ini tidak ada yang menggubris mereka, hingga muncul wanita dengan pakaian yang layak dan trendy berdiri di samping anak yang pingsan tadi, menanyai keadaannya, lalu memberikan air dan seolah-olah merasa khawatir sehingga menyulut datangnya orang untuk melihat keadaan anak tadi. Lalu bisa ditebak, lembaran uang pun mengalir kea rah anak yang pingsan tadi, 1000, 2000, 5000, 10.000, dan berlanjut hingga orang mulai bosan menunggu karena anak tadi tidak mau bangun juga. Akhirnya orang –orang yang mengerubungi pun pada bubar meninggalkan anak itu. Dan anehnya nih, wanita yang berpakaian trendy tidak juga meninggalkan anak yang pingsan tadi, melainkan tetap berdiri dengan pendangan panik dan berusaha menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. karena jengah menunggu, aku memutuskan untuk balik juga. Spend my time. Beberapa hari kemudian entah karena ada urusan apa, langkah kakiku membawa ke Detos, dan aku menemukan lagi anak yang berpura-pura pingsan seperti dulu, dan belajar dari pengalaman yang sudah-sudah aku memutuskan untuk meninggalkan anak kecil tadi.

Oke deh, karena topik yang beralih terlalu jauh mungkin ya, akhirnya aku tarik lagi pembicaraan ke ojek payung. Bagaimanapun juga, ironis ketika semakin lama pemuda kita yang akan meneruskan pembangunan bangsa Indonesia yang kaya dan makmur ini, hanya diisi oleh orang-orang yang bermental meminta belas kasihan. Akan di bawa kemana ketika bangsa yang berazaskan Pancasila ini hanya meminta bantuan bangsa lain, bahkan cenderung merepotkan bangsa lain untuk menanggung kelangsungan hidupnya? Nah, ujung ulasan kali ini sudah lumayan jelas kan? Bukan karena rasa belas kasihan kita yang salah, tetapi tempatkan itu pada hal yang semestinya. Tidak ingin kan, kalau budaya kasihan ini mendarah daging hingga akhirnya tidak bisa dirubah?

Ada seseorang yang saya kenal mengatakan begini ”kalau kita ingin menghabisi budaya meminta-minta yang payah itu, jangan pernah memberi pada pengemis di jalanan”. Jangan salah ya, aku dulu juga sempat sebel banget sama pendapat orang ini. Dia gak nyadar kali, kalau pengemis merasa kesulitan banget pada hidup yang ditanggungnya. Bahkan kalau bisa memilih, pengemis tidak akan pernah mau menjadi pengemis ketika dilahirkan. Tapi coba lihat pada permasalahan lebih panjang, dalam hal ini memandang semua permasalahan menjadi jangka panjang dan massif.

Tereretetettete.......ttttt. Udah bisa membandingkan kan? Sekalipun kita tidak memilikli pendapat yang sama, setidaknya kita tahu bahwa krisis kekuatan tidak hanya melanda moral generasi muda. Tetapi keinginan serba instan dan tidak ingin susah-susah (padahal hidupnya udah susah) telah membuat kita menjadi generasi kacangan. Kalalu Genk Gaul bilang, kita masih dalam tingkatan singkong. Apa maksudnya ya??????

LET’S DOING SOMETHING FOR OUR LUPHY COUNTRY.....

INDONESIA

Wassalam………………………..

By : Eny Rofi'atul N

Tidak ada komentar: